Selasa, 24 November 2009

Menjadi Suami yang Mempesona

Menjadi Suami yang Mempesona
Istilah istri yang mempesona suami? Suatu hal yang lumrah kita dengar dan telah banyak dibahas dalam berbagai majalah, kajian, diskusi dan infotaiment. Bagi para suami juga dapat mempesona lho..!!, tentunya para istri juga menginginkan laki-laki yang mempesona sebagai suaminya. tetapi mempesonanya suami tidak sama dengan mempesonanya istri lho… dan mempesona suami yang diharapkan boleh jadi relative dimata istri yg satu dengan istri yang lain, tetapi dapat dikatakan secara umum kaum perempuan membutuhkan pesona yang dapat lebih membuat mereka senantiasa mencintai suaminya.
Sebagian besar para suami menyangka bahwa istri Anda mencintai Anda karena ia telah mendampingi, melayani, melahirkan dan mengasuh anak-anak Anda. Memang sich hal itu benar juga adanya, akan tetapi untuk membuat perasaan istri Anda tidak berubah atau terjadi kebosanan dalam rumah tangga dan agar istri tetap selalu mencintai Anda dari waktu ke waktu, tentu dibutuhkan lebih banyak proses, perbuatan, tingkah laku yang semuanya tertuju pada satu titik bahwa Anda tetap harus punya jurus ampuh mempesonanya, sehingga sang istri menganggap Andalah sang pejantan tangguh yang menjadi cintanya untuk selamanya.
Ada sebuah kisah yang menarik terutama untuk para suami dari kisah seorang shahibiyah yang mendatangi Rasulullah untuk menceritakan, bahwa sekian lama berumah tangga ternyata perasaannya mengalami perubahan, ia tidak lagi bisa mencintai suaminya dan karena itu ia khawatir berbuat kekufuran.
Adalah istri Tsabit bin Qais bin Syamas (sahabat Rasulullah) yang bernama Jamilah, ia mendatangi Rasulullah untuk menceritakan perasaannya terhadap suaminya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela agama dan akhlak Tsabit, tetapi aku khawatir jika hidup bersamanya aku berbuat kekufuran.” Maka Rasulullah bersabda, “Apakah engkau mau mengembalikan kebunnya?” (waktu itu mahar Tsabit adalah kebunnya). Jamilah menjawab, “mau ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah mengutus seseorang kepada Tsabit untuk menyampaikan
pesannya,”Terimalah kebun itu dan ceraikanlah dia.” (HR Bukhari dari Ibnu Abbas)padahal menurut kisah Tsabit bin Qais adalah juru bicara Rosulullah pada waktu itu jika ada tamu dari Negara lain..
Kisah lainnya yang juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas berikut ini menunjukkan bahwa seorang istri diperbolehkan melepaskan diri dari suami yang tidak dapat dicintainya. Barirah adalah seorang budak wanita dari Habasyah yang berada dibawah kekuasaan Utbah bin Lahab. Majikannya ini memaksa Barirah untuk menikah dengan seorang yang tidak disukainya yaitu budak laki-laki
bernama Mughits. Merekapun menikah, Barirah tidak mencintai suaminya tapi sebaliknya Mughits sangat mencintai istrinya. Ummul Mukminin Aisyah merasa kasihan kepada Barirah, beliau lalu membeli dan memerdekakannya. Setelah itu Barirah merasa benar-benar memiliki kebebasannya dan merasa dapat menentukan hidupnya, maka ia meminta cerai dari suaminya. Ibnu Abbas berkata, “Suami Barirah adalah seorang budak bernama Mughits, seakan-akan aku melihatnya berjalan dibelakangnya sambil menangis, air matanya menetes sampai ke jenggotnya. Nabi berkata kepadaku , “Wahai Ibnu Abbas, tidakkah engkau takjub pada cinta Mughits pada Barirah dan kebencian Barirah pada Mughits?’
Selanjutnya Nabi berkata kepada Barirah, "Seandainya engkau mau kembali, sesungguhnya dia adalah suamimu dan ayah anakmu."
Maka Barirah bertanya, "Apakah engkau memerintahkan aku ya Rasulullah?"
Beliau menjawab, "Aku hanya menawarkan kepadamu."
Barirah berucap, "Aku tidak membutuhkannya”.

wahai para suami..begitu pilunya kisah diatas bagi kita, InsyaAlloh tips berikut ini dapat membantu Anda untuk menjadi pribadi yang mempesona dimata istri Anda:
1. Memperhatikan penampilan luar.
Tidak diragukan lagi bahwa penampilan luar dapat membangkitkan pesona pada jiwa perempuan. Suami yang dapat menjaga kebersihan dirinya, rapi ,wangi dan keren. umumnya lebih mempesona ketimbang suami yang jorok, lusuh dan kumal. Bukankah Rasulullah bersabda bahwa kebersihan itu cabang iman?
Umar bin Khattab pun pernah berkata, “Perempuan menyukai kalau suaminya berhias untuk dirinya, sebagaimana laki-laki suka istrinya berhias untuk dirinya.”


2.Tidak Kaku dan Monoton
Suami seperti ini selalu mau belajar memahami perasaan istrinya, punya banyak cara dan gaya dalam mengungkapkan perasaan cinta dan kasih sayang kepada istrinya, juga tidak enggan untuk menyatakan cintanya dengan kata-kata dan hadiah-hadiah sederhana.

3. Terbuka dalam setiap Masalah
Suami seperti ini tidak enggan mengungkapkan harapan, keinginan dan perasaannya agar istri mengerti dan dapat melakukan hal yang sesuai dengan yang dikehendakinya,setidaknya menjadi tempat curhat yang dikit melegakan dada. Jangan anda sering memendam masalah ,diam dan membiarkan istrinya dalam kesulitan menebak-nebak keresahan apa yang ada pada diri anda.

4. Sosok yang Matang
Kebanyakan perempuan ketika menikah menginginkan suaminya adalah orang yang siap melindungi, membimbing dan dapat menjadi tempat bersandar. Laki-laki yang matang seperti ini lebih mempesona perempuan dibanding yang kekanak-kanakan dan emosional.

5. Peduli dengan Keluarga
Adalah benar suami memiliki tanggung jawab dalam masalah nafkah, tetapi kesibukannya dalam pekerjaan atau hal lainnya tidak membuatnya menjadi orang yang acuh terhadap istri dan anak-anaknya. Mentarbiyah istri dan anak-anaknya,mengajak menghadiri majelis ilmu,dan Ia mau menemani anak belajar dan tidak keberatan mengantar istrinya pergi kepasar serta menghadiri acara-acaranya.

6. Dapat diajak berbagi Rasa
Suami mempesona mau belajar bagaimana dapat ikut merasakan apa yang sedang dirasakan istrinya. Ia mau mendengar dengan penuh perhatian ketika istri sedang mengungkapkan permasalahannya, ikut merasakan kegelisahannya dan dapat membantu menentramkannya atau mengatasi permasalahannya. Ia adalah tempat curhat istrinya
yang setia dan dapat dipercaya.

7. Mencintai Orang Tua, Saudara dan Kerabat Istri
Anda akan semakin mempesona istri Anda manakala Anda mencintai orang tuanya, menyayangi saudara-saudaranya dan bersikap baik kepada kerabatnya. Dan jika Anda senantiasa bersikap demikian maka percayalah iapun akan berusaha keras untuk mencintai orang tua Anda dan bersikap baik pada saudara dan kerabat Anda.


Wahai para suami…!!Jangan ragu dan gengsi untuk melakukan tips diatas,lakukan dengan penuh keikhlasan dan mulailah sekarang juga maka Anda akan takjub mendapati limpahan cinta istri Anda yang seolah tanpa batas, karena begitulah sifat dan karakter perempuan, ia akan memberi lebih dari apa yang Anda berikan kepadanya!***

Yogyakarta,23 November 2009
“Maranto” saat gerimis basahi bumi sangaji
"Zaman ini adalah zaman kelembutan, kesabaran dan hikmah, bukanlah zaman kekerasan (kebengisan). Mayoritas manusia saat ini dalam keadaan jahil (bodoh), lalai dan lebih mementingkan duniawiyah. Maka haruslah sabar dan lemah lembut sampai dakwah ini tersampaikan dan sampai mereka mengetahuinya. Kami mohon petunjuk kepada Alloh untuk semuanya."

(Majmu' Fatawa Samahatul Imam Ibnu Bazz (Juz VIII, hal 376) dan (Juz X, hal. 91)

Kamis, 19 November 2009


Dayyuts, Profil Seorang Suami & Bapak Yang Buruk Bagi Istri & Anak-Anak

Posted by: fery achmad on: 15 Juni 2009


Ustadz Abdullah bin Taslim, Lc.

“Rumahku adalah surgaku”, itulah ungkapan yang sering kita dengar, yang menggambarkan keinginan setiap insan akan kebaikan dan kebahagiaan dalam kehidupan anggota keluarganya. Karena cinta kepada istri dan anak-anak merupakan fitrah yang Allah tetapkan pada jiwa setiap manusia. Allah Ta’ala berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali ‘Imran: 14)

Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS At Taghaabun: 14)

Makna “menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakukan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/482)

Kita dapati kebanyakan orang salah menempatkan arti cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak-anak, dengan menuruti semua keinginan mereka meskipun dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, yang pada gilirannya justru akan mencelakakan dan merusak kebahagiaan hidup mereka sendiri.

Sewaktu menafsirkan ayat di atas, Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di berkata, “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Allah memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…” (Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 637)

Oleh karena itulah, seorang suami dan bapak yang benar-benar menginginkan kebaikan dalam keluarganya hendaknya menyadari kedudukannya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, sehingga dia tidak membiarkan terjadinya penyimpangan syariat dalam keluarganya, karena semua itu akan diminta pertanggungg jawabannya pada hari kiamat kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته، … والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم”

“Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang (perbuatan) mereka.” (HSR. Al-Bukhari no. 2278 dan Muslim no. 1829)

Ancaman keras bagi orang yang membiarkan perbuatan maksiat dalam keluarganya

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“ثلاثة لا ينظر الله عز وجل إليهم يوم القيامة: العاق لوالديه, والمرأة المترجلة, والديوث…”

“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan dilihat oleh Allah (dengan pandangan kasih sayang) pada hari kiamat nanti, yaitu: orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki, dan ad-dayyuts…” (HR. An-Nasa-i, no. 2562, Ahmad, 2/134 dan lain-lain. Dishahihkan oleh Adz-Dzahabi dalam Kitabul Kaba-ir, hal. 55 dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaaditsish Shahihah, no. 284. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/498 mengenai makna hadits ini)

Makna ad-dayyuts adalah seorang suami atau bapak yang membiarkan terjadinya perbuatan buruk dalam keluarganya (Lihat Fathul Baari, 10/406. Makna ini disebutkan dalam riwayat lain dari hadits di atas dalam Musnad Imam Ahmad, 2/69. Akan tetapi sanadnya lemah karena adanya seorang perawi yang majhul/tidak dikenal. Lihat Silsilatul Ahaaditsish Shahihah, 2/284).

Lawannya adalah al-gayur, yaitu orang yang memiliki kecemburuan besar terhadap keluarganya sehingga dia tidak membiarkan mereka berbuat maksiat. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 9/357)

Ancaman keras dalam hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan ini termasuk dosa besar yang sangat dimurkai oleh Allah Ta’ala, karena termasuk ciri-ciri dosa besar

adalah jika perbuatan tersebut diancam akan mendapatkan balasan di akhirat nanti, baik berupa siksaan, kemurkaan Allah ataupun ancaman keras lainnya. (Lihat Kitabul Kaba-ir, hal. 4)

Oleh karena itulah, Imam Adz-Dzahabi mencantumkan perbuatan ini dalam kitab beliau “Al-Kaba-ir” (hal. 55), dan beliau berkata setelah membawakan hadits di atas: “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) bahwa tiga perbuatan tersebut termasuk dosa-dosa besar.” (Dinukil oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qadiir, 3/327. Ucapan ini tidak kami dapati dalam dua cetakan kitab Al-Kaba-ir yang ada pada kami)

Dampak negatif perbuatan ini

Ancaman keras terhadap perbuatan ini yang disebutkan dalam hadits di atas adalah sangat wajar jika kita mengamati dampak buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan ini. Karena perbuatan ini di samping akan berakibat merusak agama seseorang, juga akan merusak agama dan akhlak anggota kelurganya. Adapun kerusakan bagi agama seseorang, karena perbuatan ini akan menghilangkan atau minimal melemahkan sifat ghirah (kecemburuan karena kebaikan dalam agama), yang merupakan pendorong kebaikan dalam diri seorang hamba.

Imam Ibnul Qayyim ketika menjelaskan dampak buruk perbuatan maksiat, di antaranya perbuatan ad-diyatsah/ad-dayytus (membiarkan perbuatan buruk dalam keluarga) yang timbul karena lemah atau hilangnya sifat ghirah dalam hati pelakunya, beliau berkata, “…Oleh karena itulah, ad-dayyuts adalah makhluk Allah yang paling buruk dan diharamkan baginya masuk surga, demikian juga orang yang membolehkan dan menganggap baik perbuatan zhalim dan melampaui batas bagi orang lain. Maka perhatikanlah akibat yang ditimbulkan karena lemahnya sifat ghirah (dalam diri seseorang). Ini semua menunjukkan bahwa asal (pokok) agama (seseorang) adalah sifat ghiroh. Barangsiapa yang tidak memiliki sifat ghirah maka berarti dia tidak

memiliki agama (iman). Karena sifat inilah yang akan menghidupkan hati (manusia) yang kemudian menghidupkan (kebaikan pada) anggota badannya, sehingga anggota badannya akan menolak (semua) perbuatan buruk dan keji (dari diri orang tersebut). Sebaliknya, hilangnya sifat ghirah akan mematikan hati (manusia) yang kemudian akan mematikan (kebaikan pada) anggota badannya, sehingga sama sekali tidak ada penolak keburukan pada dirinya…” (Kitab Ad-Da-u wad Dawaa’, hal. 84)

Adapun keburukan terhadap agama istri dan anak-anaknya, dengan membiarkan atau menuruti keinginan mereka dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat, ini berarti menjerumuskan mereka ke dalam jurang kehancuran. Seorang istri bagaimana pun baik sifat asalnya, tetap saja dia adalah seorang perempuan yang lemah dan asalnya susah untuk diluruskan, karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, ditambah lagi dengan kekurangan pada akalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“إن المرأة خلقت من ضلع لن تستقيم لك على طريقة”

“Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), (sehingga) dia tidak bisa terus-menerus (dalam keadaan) lurus jalan (hidup)nya.” (HSR Muslim no. 1468)

Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati perempuan sebagai,

“…ناقصات عقل ودين”

“…Orang-orang yang kurang (lemah) akal dan agamanya.” (HSR. Al-Bukhari no. 298 dan Muslim no. 132)

Maka seorang perempuan yang demikian keadaannya tentu sangat membutuhkan

bimbingan dan pengarahan dari seorang laki-laki yang memiliki akal, kekuatan, kesabaran, dan keteguhan pendirian yang melebihi perempuan. (Lihat Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 101). Oleh karena itulah, Allah Ta’ala menjadikan kaum laki-laki sebagai pemimpin dan penegak urusan kaum perempuan dalam firman-Nya,

{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ}

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka.” (QS. An Nisa’: 34)

Makna “pemimpin bagi kaum perempuan” adalah penegak (urusan) mereka dengan mewajibkan bagi mereka untuk menunaikan hak-hak Allah, dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban (yang) Allah (tetapkan), dan melarang mereka dari perbuatan-perbuatan yang merusak (maksiat), serta mendidik mereka untuk meluruskan kebengkokan mereka. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/653 dan Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 100)

Kalau kita mendapati banyak perempuan yang rusak agamanya padahal suaminya telah berusaha keras mendidik dan mengarahkannya kepada kebaikan, maka apalagi perempuan yang tidak diarahkan dan bahkan dibiarkan larut dalam kerusakan dan maksiat?!

Terlebih lagi anak-anak, jika tidak diarahkan kepada kebaikan dan dibiarkan larut dalam maksiat, maka tentu mereka akan terbiasa dan menganggap remeh maksiat tersebut sampai mereka dewasa.

Seorang penyair berkata:

Anak kecil itu akan tumbuh dewasa di atas apa yang terbiasa (didapatkannya) dari orang tuanya
Sesungguhnya di atas akarnyalah pohon itu akan tumbuh (Adabud Dunya wad Diin, hal. 334)

Senada dengan syair di atas ada pepatah arab yang mengatakan:

“Barangsiapa yang ketika muda terbiasa melakukan sesuatu maka ketika tuapun dia akan terus melakukannya.” (Dinukil dan dibenarkan oleh syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin dalam Majmu’atul as-Ilah Tahummul Usratal Muslimah, hal. 43)

Nasehat untuk para kepala keluarga

Seorang suami dan bapak yang benar-benar mencintai dan menyayangi istri dan anak-anaknya, hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang sejati terhadap mereka tidak hanya diwujudkan dengan mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi, yang lebih penting dari semua itu adalah pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.

Karena pentingnya hal ini, Allah Ta’ala mengingatkan secara khusus kewajiban para kepala keluarga ini dalam firman-Nya,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS At Tahriim: 6)

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata,

“(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2/535. Dishahihkan oleh Al Hakim sendiri dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang berada di bawah kekuasaan dan tanggung jawabnya.” (Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 640)

Demikian juga dalam hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan masih kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hekh hekh.” [agar Hasan membuang kurma tersebut]. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?” (HSR Al-Bukhari no. 1420 dan Muslim no. 1069)

Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama),

meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut. (Fathul Baari, 3/355)

Kemudian, hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan melaksanakan perintah Allah Ta’ala ini, berarti dia telah mengusahakan kebaikan besar dalam rumah tangganya, yang dengan ini akan banyak masalah dalam keluarganya yang teratasi, baik masalah di antara dia dengan istrinya, dengan anak-anaknya atau pun di antara sesama keluarganya. Bukankah penyebab terjadinya bencana secara umum, termasuk bencana dalam rumah tangga, adalah perbuatan maksiat manusia[?] Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS Asy Syuura: 30)

Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Ad-Da-u wad Dawaa’, hal. 68)

Barangsiapa yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarganya kekal abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya dia melandasi cinta dan kasih sayangnya karena Allah semata, serta mengisinya dengan saling menasehati dan tolong menolong dalam ketaatan kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

{الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ}

“Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu

sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS Az-Zukhruf: 67)

Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia yang bukan karena Allah maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih sayang karena-Nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/170)

Lebih daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang hamba -dengan izin Allah Ta’ala- akan melihat pada diri istri dan anak-anaknya kebaikan yang akan menyejukkan pandangan matanya dan menyenangkan hatinya. Dan ini merupakan harapan setiap orang beriman yang menginginkan kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka mengucapkan permohonan ini kepada-Nya, dalam firman-Nya,

{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً}

“Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al Furqan: 74)

Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata:

“Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah. Demi Allah, tidak ada sesuatu pun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim daripada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala.” (Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, 3/439)

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun keluarga kita.

Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 3 Rabi’ul awal 1430 H

***
sumber: muslim.or.id

Jumat, 13 November 2009

SURAT DARI IBU YANG TERKOYAK HATINYA


SURAT DARI IBU YANG TERKOYAK HATINYA


Anaku….
Ini surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.

Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami.

Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu.

Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat, Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.

Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.

Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.

Anakku…
Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ? Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi Ibu ? Baiklah, anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama ini ?

Anakku..
Ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya,

Anakku…
Walaupun bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…

Anakku…
Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat.

Anakku..
Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah air mataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, “Barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri”.

Anakku…
Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayag dan kelelahan Ibu saat engkau sakit. Ingatlah ….. Ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat : “Wahai, Rabbku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil”.

Anakku…
Allah berfirman: “Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal” [Yusuf : 111]

Pandanglah masa teladan dalam Islam, masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, supaya engkau memperoleh potret bakti anak kepada orang tua.

KISAH TELADAN KEPADA ORANG TUA
Sahabat Abu Hurairah sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan kekufuran. Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia bercerita.

Aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku mengadu.

“Wahai Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk Islam, namun dia menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu yang aku benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu Hurairah”. Rasulullah bersabda : “Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu Hurairah”. Aku keluar dengan hati riang karena do’a Nabi. Ketika aku pulang dan mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar kakiku dan berkata : “Tetap di situ Abu Hurairah”. Aku mendengar kucuran air. Ibu-ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta menutup wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata : “Wahai, Abu Hurairah ! Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu”. Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan menangis gembira. Aku berkata, “Wahai, Rasulullah, Bergembiralah. Allah telah mengabulkan do’amu dan menunjuki ibuku”. Maka beliau memuji Allah dan menyanjungNya serta berkomentar baik” [Hadits Riwayat Muslim]

Ibnu Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya : “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku) wahai Ibnu Umar?” Beliau menjawab : “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitan (saat persalinan)”.

Zainal Abidin, adalah seorang yang terkenal baktinya kepada ibu. Orang-orang keheranan kepadanya (dan berkata) : “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan berdua dengannya dalam satu talam”? Ia menjawab,”Aku khawatir tanganku mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya”.

Sebelumnya, kisah yang lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais Al-Qarni, orang yang sudah beriman pada masa Nabi, sudah berangan-angan untuk berhijrah ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Namun perhatiannya kepada ibunya telah menunda tekadnya berhijrah. Ia ingin bisa meraih surga dan berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada ibu, kendatipun harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia.

Dalam shahih Muslim, dari Usair bin Jabir, ia berkata : Bila rombongan dari Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka : “Apakah Uwais bin Amir bersama kalian ?” sampai akhirnya menemui Uwais. Umar bertanya, “Engkau Uwais bin Amir?” Ia menjawa,”Benar”. Umar bertanya, “Engkau dari Murad kemudian beralih ke Qarn?” Ia menjawab, “Benar”. Umar bertanya, “Engkau punya ibu?”. Ia menjawab, “Benar”. Umar (pun) mulai bercerita, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Akan datang pada kalian Uwais bin Amir bersama rombongan penduduk Yaman yang berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah tertimpa lepra dan sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam dirham. Ia mempunyai ibu yang sangat dihormatinya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya aku hormati sumpahnya. Mintalah ia beristighfar untukmu jika bertemu”.

(Umar berkata), “Tolong mintakan ampun (kepada Allah) untukku”. Maka ia memohonkan ampunan untukku. Umar bertanya, “Kemana engkau akan pergi?”. Ia menjawab, “Kufah”. Umar berkata, “Maukah engkau jika aku menulis (rekomendasi) untukmu ke gubernurnya (Kufah)?” Ia menjawab, “Aku lebih suka bersama orang yang tidak dikenal”.

Kisah lainnya tentang bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin Aun pernah memanggil ibunya dengan suara keras, maka ia memerdekakan dua budak sebagai tanda penyesalannya.

KISAH KEDURHAKAAN KEPADA ORANG TUA
Diceritakan ada lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai tega menyeret ayahnya ke pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang ayah ini dikarunia anak yang lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret bapaknya sampai kejalanan untuk mengusirnya dari rumahnya. Maka sang bapak berkata : “Cukup… Dulu aku hanya menyeret ayahku sampai pintu depan”. Sang anak menimpali : “Itulah balasanmu. Adapun tembahan ini sebagai sedekh dariku!”.

Kisah pedih lainnya, seorang Ibu yang mengisahkan kesedihannya : “Suatu hari istri anakku meminta suaminya (anakku) agar menempatkanku di ruangan yang terpisah, berada di luar rumah. Tanpa ragu-ragu, anakku menyetujuinya. Saat musim dingin yang sangat menusuk, aku berusaha masuk ke dalam rumah, tapi pintu-pintu terkunci rapat. Rasa dingin pun menusuk tubuhku. Kondisiku semakin buruk. Anakku ingin membawaku kesuatu tempat. Perkiraanku ke rumah sakit, tetapi ternyata ia mencampakkanku ke panti jompo. Dan setelah itu tidak pernah lagu menemuiku”

Sebagai penutup, kita harus memahami bahwa bakti kepada orang tua merupakan jalan lempang dan mulia yang mengantarkan seorang anak menuju surga Allah. Sebaliknya, kedurhakaan kepada mereka, bisa menyeret sang anak menuju lembah kehinaan, neraka.

Hati-hatilah, durhaka kepada orang tua, dosanya besar dan balasannya menyakitkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Akan terhina, akan terhina dan akan terhina!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullahj, siapakah gerangan ?” Beliau bersabda, “Orang yang mendapati orang tuanya, atau salah satunya pada hari tuanya, namun ia (tetap) masuk neraka” [Hadits Riwayat Muslim]

[Diadaptasi dari Idatush Shabirin, oleh Abdullah bin Ibrahim Al-Qa’rawi dan Ilzam Rijlaha Fatsamma Al-Jannah, oleh Shalihj bin Rasyid Al-Huwaimil]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425/2005M. Penerbiit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]

Rabu, 11 November 2009

Keagungan Wanita dalam Naungan Islam…



Keagungan Wanita dalam Naungan Islam…

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

Pengantar

keagungan wanita dalam naungan IslamDitengah gencarnya arus dan gelombang persamaan gender serta emansipasi wanita, terutama pada bulan ini yang mereka mengenangnya sebagai sebuah sejarah perjuangan wanita . Tanggal 21 April dikenanglah nama Seorang RA Kartini dengan kumpulan suratnya : “Door Duisternis Tot Licht” yang terlanjur diterjemahkan oleh seorang sastrawan kafir Armin Pane dengan judul “Habis gelap terbitlah terang”, yang nama ini semua dijadikan sebuah simbol perjuangan wanita untuk memperjuangkan hak–hak mereka yang terdholimi.

Namun yang menjadikan kita harus mengurut dada, adalah lontaran dan celotehan kotor dari sebagian orang yang mengatakan bahwa agama slam tidak menghormati wanita, dan beberapa hukum islam mendlolimi wanita ? Fasubhanalloh, tahukah mereka hakekat yang mereka ucapkan, ataukah ini hanya membeo pada ucapan orang-orang kafr barat yang memang sangat gencar menyerang islan dengan berusaha memburukanya citra dan keagungannya.

Perhatikanlah wahai saudaraku , islam datang untuk membawa rohmat bagi seluruh alam, sebagamana firman Nya :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tidaklah kami mengutusmu kecuali sebagai rohmat bagi seluruh alam.”

(QS. Al Anbiya’ : 107)

Wanita adalah bagian utama dalam kehidupan dialam semesta, tidak akan baik sebuah kehiduan tanpa pengagungan dan penghormatan kepada mereka, lalu akankah islam mendloliminya ? Tidak wallohi tidak.

Dari sini marilah kita telusuri bagaimana sebenarnya islam memperlakukan kaum hawa, baik saat menjadi apapun dia, baik saat masih sebagai seorang anak, menjadi ibu, menjadi saudara wanita, menjadi bibi atau lainnya.

Mudah-mudahan Alloh memberikan taufiq Nya dan menghilangkan syubuhat kotor yang terpolusi oleh hitamnya isu persamaan gender dan emansipasi.

A. Saat Menjadi Anak

Pada zaman Jahiliyyah, menjadi anak wanita benar-benar terhina, orang tua mereka tidak senang dengan kehadirannya bahkan mereka tega membunuhnya dengan menguburnya hidup hidup. Perhatikanlah gambaran qur’ani berikut :

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi khabar dengan kelahiran anak perempuannya, hitamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan burknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menangung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah hidup-hidup ? ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.

(QS. An Nahl: 58, 59)

Al Hafidl Ibnu Hajar menyebutkan bahwa orang-orang jahiliyyah saat mengubur hidup-hidup anak wanitanya, mereka menggunakan dua cara :

  • Pertama : Dia memerinthakan istrinya apabila akan melahirkan supaya berada di dekat sebuah kubangan, lalu apabila yang lahir adalah laki-laki maka dia membiarkanya, namun apabila perempuan maka segera dilempar ke kubangan tersebut.
  • Kedua : Ada sebagian lain, yang membiarkan anak wanitanya hidup sampai sekitar umur enam tahun, lalu saat itu dia berkata kepada istrinya : “Hiasilah dan berilah wewangian pada anak ini, saya akan ajak dia mengunjungi kerabat kita”. Ternyata anak tersebut di bawa ke tangah padang pasir sehingga sampai ke sebuah sumur, lau dia berkata kepada anak wanita tersebut : Lihatlah kedalam sumur ini.” Dan akhirnya dia mendorong anaknya sehingga jatuh kedalamnya. (Lihat Fathul Bari 10/421)

Namun hal itu sangat berbeda dengan islam yang menganggap bahwa kelahiran seorang anak wanita adalah sebuah kenikmatan agung, dan islam memerintahkan untuk memperhatikan serta mendidik mereka, dan islam memberikan balasan besar bagi yang melakukannya.

Rosululloh bersabda :

عن عقبة بن عامر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من كان له ثلاث بنات فصبر عليهن وأطعمهن وسقاهن وكساهن من جدته كن له حجابا من النار يوم القيامة

Dari Uqbah bin Amir berkata : “Saya mendengar Rosululloh bersabda : “Barang siapa yang mempunyai tiga orang anak wanita lalu sabar menghadapinya dan memberinya pakaian dari hasil usahanya, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari nereka.”

(HR. Ibnu Majah : 3669, Bukhori dalam adab Mufrod : 76 dan Ahmad 4/154 dengan sanad shohih, lihat Ash Shohihah : 294)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ

Dari Anas bin Malik berkata : “Rosululloh bersabda : “Barang siapa yang memelihara dua anak wanita sehingga baligh, maka dia akan datang pada hari kiamat dan saat itu saya dan dia seperti ini.” Lalu Rosululloh menyatukan antara jari-jari beliau.”

(HR. Muslim : 2631)

Dan pada riwayat lain dari Jabir bin Abdillah, Rosululloh bersabda :

من كن له ثلاث بنات يؤويهن و يرحمهن و يكفلهن وجبت له الجنة البتة . قيل : يا رسول الله ! فإن كانت اثنتين ؟ قال : و إن كانت اثنتين . قال : فرأى بعض القوم أن لو قالوا له : واحدة ؟ لقال : واحدة “

“Barang siapa yang memiliki tiga anak wanita lalu memelihara, mengasih sayanginya dan menanggung hidupnya maka dia pasti masuk surga. Lalu ada yang bertanya : Ya Rosululloh , bagaimana kalau hanya dua ? beliau menjawab : Meskipun hanya dua. Maka ada sebagian orang yang mengatakan bahwa seandainya mereka bertanya : Bagamana kalau Cuma satu, niscaya Rosululloh akan menajawabnya : Meskipun Cuma satu.

(HR. Ahmad 3/303, lihat Ash Shohihah : 2679)

B. Saat Menjadi Ibu

Saat seorang wanita menjadi ibu, maka syariat islam benar-benar menghormati dan mengagungkannya. Hal ini sangat nampak sekali dengan wajibnya seorang anak berbakti pada ibunya, berbuat baik padanya, larangan menyakitinya dengan cara apapun, mendoakan kebaikan baginya serta berbagai hal lain yang membawa kebahagiaan serta kehormatan dirinya.

Salah satu gambarannya adalah firman Alloh Ta’ala :

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahan supaya kamu jangan menyemba selain Diadan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau keduanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah”dan janganlah kamu membentak keduanya dan ucapanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah : Ya Alloh, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”

(QS. An Nahl : 23, 24)

bahkan islam lebih mendahulukan menghormati ibu daripada bapak. Sebagaimana hadits berikut :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ

Dari Abu Huroiroh berkata : “Datang seseorang kepada Rosululloh lalu bertanya : Wahai Rosululloh, siapa yang paling berhak untuk saya berbuat baik padanya ?

Rosululloh menjawab : Ibumu,

Dia bertanya lagi : Lalu siapa ?

Rosululloh menjawab : Ibumu,

dia bertanya lagi : Lalu siapa ?

Rosululloh kembali menjawab : Ibumu,

lalu dia bertanya lagi : Lalu siapa? Rosululloh menjawab : Bapakmu.”

(HR. Bukhori : 5971, Muslim : 2548)

Syariat islam juga menjadikan berbuat bakti kepada orang tua termasuk diantara amal perbuatan yang paling mulia. Dan ini sangat jelas tergambar dalam beberapa hadits Rosululloh , diantaranya :

عن عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Dari Abdulloh bin Mas’ud berkata : ” Saya bertanya kepada Rosululloh : Apakah amal perbuatan yang paling dicintai oleh Alloh ? Rosululloh menjawab : Sholat tepat pada waktunya. Saya bertanya lagi : Lalu apa ? Beliau menjawab : Berbakti kepada kedua oang tua.” Lalu apa lagi : Jihad fisabilillah.”

(HR. Bukhori : 5970, Muslim : 85)

Islam juga menjadikan durhaka kepada keduanya termasuk dosa besar, sebagaimana sabda Rosululloh :

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ

Dari Abdur Rohman bin Abu Bakroh dari bapaknya berkata : “Rosululloh bersabda : “Maukah kalian saya tunjukkan kepada perbuatan dosa yang paling besar ? Para sahabat mengatakan : Wahai Rosululloh, Beliau bersabda : “Berbuat syirik kepada Alloh, durhaka kepada kedua orang tua.” Dan saat itu duduk padahal sebelumnya bersandar : hati-hatilah kalian dengan sumpah palsu.” Rosululloh selalu mengulang-ulanginya sehingga kami mengatakan : Duh, seandainya beliau mau diam.

(HR. Bukhori : 5976, Muslim : 87)

C. Saat Menjadi Istri

Saat seorang wanita menjadi istri, maka syariat islam pun sangat memperhatikan hak-haknya serta sangat menghargai dan menghormatinya. Diperintahkan seorang suami untuk berbuat baik kepadanya, tidak menyakitinya, bersabar atas segala kekurangannya, berbuat baik kepada keluarganya, memberinya nafkah dengan cara yang baik, menjaga kehormatannya dan lain sebagainya.

Cukuplah itu semua masuk dalam perintah Alloh :

“Dan pergaulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik.”

(QS. An Nisa’ : 19)

Dan perhatikanlah beberapa hadits berikut, niscaya engkau akan mengetahui bagaimana islam sangat menghormati seorang istri.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

Dari Abu Huroiroh berkata : “ Rosululloh bersabda : “Berbuat baiklah kalian kepada istri, karena dia diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas, kalau engkau meluruskannya berarti engkau mematahkanya namun jika engkau biarkan maka dia akan selalu bengkok, oleh karena itu berbuat baiklah kalian kepada para istri.”

(HR. Bukhori : 3331, Muslim : 1468)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

Dari Abu Huroiroh berkata : “Rosululloh bersabda : “Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, sebaik-baik kalian yang paling baik terhadap istrinya.”

(HR. Ahmad 2/250, Abu Dawud : 4682, Tirmidzi : 1162 dengan sanad shohih)

عن جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّه قال : قال رسول الله : فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dari Jabir bin Abdillah bahwasannya Rosululloh bersabda saat khutbah haji wada’ : “Takutlah kalian kepada Alloh tentang urusan istri kalian, karena kalian mengambilnya dengan amanat dari Alloh, dan kalian halalkan farjinya dengan kalimat Alloh, maka hak kalian atas mereka adalah agar mereka kaum istri jangan mengizinkan orang yang kalian benci masuk rumah kalian, kalau sampai mereka melakukannya maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti, sedangkan hak mereka atas kalian adalah kalian berikan nafkah serta pakaiannya dengan cara yang baik.”

(HR. Muslim : 1218)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

Dari Abu Huroiroh berkata : ” Rosululloh bersabda : “Janganlah seorang mukmin laki-laki membenci seorang wanita mu’minah, karena jika dia melihat ada akhlaknya yang tidak disenangi, niscaya dia akan menemukan akhlak lain yang dia senangi.”

(HR. Muslim : 1469)

D. Saat Sebagai Kerabat

Saat seorang wanita menjadi kerabat, baik sebagai saudara, bibi , keponakan maupun saudara sepupu, maka syariat Alloh dan Rosulnya pun tetap menghormati dan mengagungkannya.

Kaum muslimin diperintahkan untuk berbuat baik kepada mereka, di perintah untuk menyambung hubungan kekerabatan, menjaga hak-hak mereka serta lainnya.

Perhatikanlah beberapa nash berikut :

عن المقدام بن معد يكرب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن الله يوصيكم بأمهاتكم ثلاثا إن الله يوصيكم بآبائكم إن الله يوصيكم بالأقرب فالأقرب .

Dari Miqdam bin Ma’dikarib bahwasannya Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya Alloh berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu-ibu kalian (tiga kali) , Sesungguhnya Alloh berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada bapak-bapak kalian, sesungguhnya Alloh berwasiat untuk berbuat baik dengan keluar yang terdekat kemudian yang dekatnya lagi.

(HR. Bukhori dalam Adab Mufrod : 60, Ibnu Majah : 3661 dengan sanad shohih, lihat Ash Shohihah : 1666)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الرَّحِمَ شَجْنَةٌ مِنْ الرَّحْمَنِ فَقَالَ اللَّهُ مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ

Dari Abu Huroiroh dari Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya orang yang masih punya hubungan keluarga adalah kerabat erat dari Alloh, maka Alloh berfirman : Barang siapa yang menyambungmu maka Aku akan menyambungnya, dan barang siapa yang memutusmu maka Aku akan memutusnya.”

(HR. Bukhori : 5989, Muslim : 2555)

E. Saat Menjadi Orang Lain

Sampaipun saat seorang wanita hanya menjadi orang lain yang tidak memmpunyai hubungan kekeluargaan dengannya, maka islam masih sangat menghargai dan menghormatinya.

Sebagai sebuah gambaran mudah. Islam memerintahkan untuk memberikan bantuan saat ada seorang wanita yang membutuhkan, sebagaimana sabda Rosululloh :

السَّاعِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ الْقَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهَارَ

“Orang yang berusaha membantu para janda dan orang miskin maka dia berada dijalan Alloh atau seperti orang yang sholat malam dan puasa siang hari.”

(HR. Bukhori : 6007, Muslim : 2982)

Penutup

Inilah sekelumit dari samudra keagungan wanita dalam naungan syariat islam, lalu setelah ini semua, masihkah ada orang yang berani untuk mengatakan bahwa islam mendholimi wanita dan tidak memberikan hak-hak mereka ? Mudah-mudahan Alloh tidak menjadikan kita sebagai orang yang buta hati dan akal. Wallohu a’lam

www.ahmadsabiq.com

Selasa, 10 November 2009

Wahai Para Suami! Apakah Kau Kira Istrimu Lebih Baik daripada Istri-Istri Nabi?


Wahai Para Suami! Apakah Kau Kira Istrimu Lebih Baik daripada Istri-Istri Nabi?

Untukmu Wahai Para Suami

Aku mencintaimu karena الله

disusun oleh:

Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

.

I. PENGANTAR

Kalau selama ini kehidupan rumah tangga dinamakan dengan sebuah bahtera itu mungkin ada benarnya, karena dalam sebuah keluarga tidak akan ada yang selamat dari adanya riak-riak kecil gelombang lautan yang dihembuskan angin sepoi-sepoi sampai adanya sebuah badai yang dasyat. Bersatunya dua insan yang punya karakteristik, latar belakang, pendidikan, mental dan lainya yang mungkin serba berbeda akan banyak menimbulkan banyak gesekan. Dari sinilah maka sebuah pertengkaran kecil, perseteruan unik dalam keluarga sudah dianggap sebagai bumbu pelengkap kelezatan hidup dalam kebersamaan.

Namun, kalau hal itu tidak diatasi dan disikapi dengan bagus dan arif, maka yang namanya pertengkaran kecil itu akan menjadi sebuah bumerang yang terkadang bisa mengkandaskan bahtera itu sebelum sampai pada cita-cita impian bersama.

Sangat miris hati ini saat mendengar bahwa para ibu-ibu banyak yang memakan daging suami mereka sendiri. Banyak suasana ngobrol yang seharusnya bisa diisi dengan hal-hal yang lebih bermanfaat, malah menjadi lainnya. Terdorong untuk menasehati sesama muslim karena memang agama ini adalah nasehat, maka hati inipun tergerak untuk menggugah dan tangan inipun mulailah menorehkan untaian kata-kata ini.

Pada awalnya saya agak bingung dari siapa saya harus memulai, apakah dari suami ataukah istri, karena saya yakin masalah ini tidak bisa dibebankan pada salah satu saja, namun karena saya adalah laki-laki yang juga suami, maka lebih baiknya kalau saya mulai dari jenisku sendiri para kaum suami.

Bacalah, resapilah lalu renungkanlah mudah-mudahan ini bisa menjadi setitik obat bagi sebuah luka dan semoga rumah tangga menjadi penuh dengan berkah baik saat senang maupun susah, baik saat lapang maupun sempit.

.

B. PAHAMILAH KARAKTER ISTRIMU

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa Muhammad seorang Rosul nan mulia telah menghabarkan kepada kita kaum laki-laki tentang siapa sebenarnya seseorang yang selalu mendampingi kita dalam kehidupan kita sehari-hari, dalam sebuah gambaran yang sangat indah beliau pernah bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

Dari Abu Huroiroh dari Rosululloh bersabda : “Berwasiatlah kalian yang baik kepada kaum wanita, karena mereka tercipta dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas, maka kalau engkau meluruskannya berarti engkau mematahkannya, namun jika engkau membiarkannya maka dia akan selamanya bengkok, oleh karena itu berwasiatlah yang baik kepada wanita.” (HR. Bukhori 5168, Muslim : 1468)

Tahukah engkau bagaimana sebuah tulang rusuk yang bengkok, tulang rusuk dimana-mana itu keras dan kaku, maka butuh cara tertentu untuk bisa meluruskannya, kalau engkau meluruskanya dengan keras dan secara langsung, tidak diragukan lagi bahwa tulang itu akan segera patah ? kalau sekedar patahnya tulang tidaklah mengapa, namun kalau patahnya sebuah keluarga , maka apakah maknanya ?

Namun bukan berarti itu membuat sang suami harus menyerah beralaskan dengan bengkoknya tulang rusuk, karena Rosululloh pun menandaskan bahwa kalau engkau biarkan maka dia akan selamanya bengkok. Lalu bagaimana solusinya ?

Perhatikanlah hadits berikut :

Dari Samuroh bin Jundub berkata : “Rosululloh bersabda :

“Sesungguhnya wanita itu tercipta dari tulang rusuk, maka jika engkau meluruskannya niscaya engkau akan mematahkanya, oleh karena itu ambillah sikap mudaroh , niscaya engkau akan bisa hidup dengannya.”

(HR. Ibnu Hibban : 1308 dengan sanad yang shohih)

Berkata Al Hafidl Ibnu Hajar, “Al Mudaroh” adalah bersikap basa-basi dan lunak.

Beliau juga berkata :

“Hadits ini menunjukkan akan diperintahkan bersikap mudaroh kepada wanita untuk mengambil hati dan menggait simpatinya. Hadits ini juga menunjukan bahwa cara bersikap dengan wanita harus banyak memaafkan dan bersabar akan kebengkokannya. Dan barang siapa yang menginginkan untuk meluruskannya niscaya dia tidak akan bisa hidup bersama mereka, padahal tidak mungkin ada seorang pun laki-laki yang bisa hidup tanpa wanita, disini seakan-akan Rosululloh bersabda bahwasannya hidup senang bersama seorang istri tidak mungkin bisa dicapai kecuali harus dengan bersabar atas kekurangannya.” (Lihat Fathul Bari 9/254 dengan sedikit perubahan)

  • Sikap mudaroh yang dituntunkan oleh Rosululloh ini mempunyai konsekwensi berikut ini :
  1. Bukankah seorang mulim itu lembut tutur kata dan sikapnya ?
  2. Bertuturlah yang lembut kepada istrimu! Kaum laki-laki saja senang dengan kelembutan kata dan ucapan, apalagi wanita yang memang diciptakan dengan segala kelemahlembutannya ?
  3. Bukankah Rosululloh adalah suri tauladan bagi kita semua. Camkanlah hadits berikut ini !

عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلَا لَعَّانًا وَلَا سَبَّابًا

Dari Anas bim Malik berkata : “Rosululloh itu bukan orang keji ucapannya, juga bukan orang yang suka melaknat dan mencela.” (HR. Bukhori : 6046)

Dari sinilah, Rosululloh juga bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا

Dari Abu Huroiroh berkata : Rosululloh bersabda : “Janganlah seorang laki-laki mu’min mencela seorang wanita mu’minah, karena jika dia tidak suka salah satu perangainya maka dia akan ridlo dengan perangainnya yang lain.”

(HR. Muslim : 1469, Ahmad : 8163)

Alangkah bagusnya apa yang dikatakan oleh Hasan Al Bashri :

“Nikahkanlah anakmu dengan orang yang agamanya bagus, karena jika dia mencintainya maka dia akan memuliakannya sedangkan jika tidak mencintainya maka tidak akan mendholiminya.”

Lihatlah bagaimana Rosululloh bersikap lembut kepada istri-istrinya, meskipun dalam suasana yang melelahkan, dalam sebuah perjalanan.

Apakah kau kira istrimu lebih baik daripada umahatul mukminin?Dari Aisyah berkata : “Saya keluar bersama Rosululloh dalam sebuah berjalanan, dan saat itu saya masih kecil belum gemuk, maka beliau berkata kepada para sahabat lainnya : “Berangkatlah kalian terlebih dahulu, kemudian beliau berkata kepadaku : “Kemarilah, ayo kita lomba lari.” Maka saya pun meladeni lomba bersama beliau dan saya bisa mendahului beliau, sehingga tatkala saya sudah menjadi gemuk, sayapun keluar lagi bersama Rosululloh dalam sebuah perjalanan, lalu beliau berkata kepada para sahabatanya : “Majulah kalian terlebih dahulu, kemudian beliau berkata kepadaku : “Kemarilah kita lomba lari lagi.” Namun kali ini beliau mendahuluiku. Maka Rosululloh tertawa seraya berkata : “Ini sebagai balasan kekalahan yang dahulu.” (HR. Ahmad 6/264, Abu Dawud : 2578, Ibnu Majah : 1979)

  • Sikap lembutnya Rosululloh sampai pada tingatan beliau membiarkan Aisyah untuk bermain dengan boneka-boneka mainannya.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا قَالَتْ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ قَالَتْ بَنَاتِي وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ مَا هَذَا الَّذِي أَرَى وَسْطَهُنَّ قَالَتْ فَرَسٌ قَالَ وَمَا هَذَا الَّذِي عَلَيْهِ قَالَتْ جَنَاحَانِ قَالَ فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلًا لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ *

Dari Aisyah berkata : “Rosululloh datang dari perang Tabuk atau Khoibar dan saat itu di kamarku ada kain penutup, lalu berhembuslah angin dan membuka bagian yang tertutupi berupa boneka-boneka kecil milik Aisyah, maka Rosululloh bersabda : “Apa ini wahai Aisyah ? Aisyah menjawab : “Boneka-boneka milikku.” Lalu Rosululloh melihat diantaranya ada kuda yang punya dua sayap yang terbuat dari kulit, maka Rosululloh bersabda : “Apa yang berada ditengah-tengah itu ? Aisyah menjawab : “Kuda.” “Lalu apa itu ? Tanya Rosululloh selanjutnya. Aisyah menimpali : “Dua sayap.” Maka Rosululloh bertanya lagi : “Emangnya ada kuda yang punya dua sayap ?.” Maka Aisyah menjawab : “Tidakkah engkau mendengar bahwa bahwa Nabi Sulaiman punya kuda yang punya banyak sayap ? maka Rosululloh pun tertawa sampai nampak gigi geraham beliau.”

(H.R. Abu Dawud 4932)

Lihatlah wahai saudaraku bagaimana, Rosululloh bersikap dengan seorang istri, penuh dengan kelembutan, senda gurau, rileks dan lainnya.

  • Tidak sampai disitu saja, bahkan Rosululloh memanggil teman-teman Aisyah untuk bermain boneka bersama.

Dari Ummul mu’minin Aisyah berkata : “Saya bermain boneka berbentuk anak wanita disisi Rosululloh, dan saya juga mempunyai teman-teman wanita yang bermain bersamaku, dan jika Rosululloh masuk maka mereka bersembunyi lalu Rosululloh mengutus mereka untuk bersamaku lalu merekapun bermain lagi denganku.”

.

C. APAKAH ISTRIMU LEBIH BAIK DARIPADA UMMAHATUL MUKMININ?

Saya sangat heran kepada sebagian ikhwan yang tatkala sebelum menikah dia membayangkan bahwa kalau nantinya dia sudah menikah dengan seorang akhwat yang banyak belajar agama, maka hidupnya hanya akan berisi ketentraman dan keindahan tanpa adanya pertengkaran , keributan dan lainnya.

Ada yang sering mereka katakan, “Bukankah para akhwat itu tahu bahwa seorang istri yang sholihat adalah kalau dilihat oleh suami maka akan menyenangkannya, kalau diperintah oleh suami maka akan mentaatinya, kalau ditinggal pergi oleh suami maka dia akan menjaga diri dan hartanya, sebagaimana dalam sebuah hadits dari Rosululloh ?

Untuk ikhwan semacam itu saya katakan,

Apakah istri anda lebih bagus daripada para wanita sahabat bahkan lebih bagus dari pada para ummahatul mu’minin?”

“Apakah kehidupan Rosululloh lepas dari permasalahan rumah tangga?”

“Lihatlah bukankah telah terjadi perceraian dikalangan para sahabat?

“Bukankah sampai terjadi khulu’ (tuntutan cerai dari pihak istri ) di zaman Rosululloh?”

“Bukankah Rosululloh pernah bertengkar dengan istrinya selama sebulan penuh?

“Dan bukankah Rosululloh pernah menceraikan Hafshoh binti Umar meskipun kemudian beliau merujuknya kembali ?

  • Wallohi, seseorang yang menginginkan kehidupan kayak begitu, saya khawatir kekecewaan dia akan menjadi sangat besar dan luka dia akan menjadi sangat lebar.

Perhatikanlah, ya akhi riwayat berikut ini :

Dari Jabir bin Abdillah bahwasannya Abu Bakr datang minta izin untuk bertemu dengan Rosululloh , dan beliau menemukan para sahabat sedang duduk-duduk dipintu rumah beliau, mereka tidak diizinkan masuk, namun Abu Bakr diizinkan masuk, ternyata beliau menemukan Rosululloh sedang duduk terdiam dan disekitar beliau ada istri-istrinya, lalu Umar pun datang dan beliau diizinkan masuk dan Rosululloh pun masih duduk terdiam, Abu Bakr berkata : “Wallohi saya akan membuat Rosululloh tertawa.” maka beliau berkata : “Wahai Rosululloh, Apa pendapatmu sendainya putrinya Khorijah (istri Abu Bakr) minta nafkah kepadaku, namun saya malah bangkit dan menohok lehernya ? maka Rosululloh pun tertawa seraya berkata : “Sebagaimana engkau lihat, semua istriku minta tambahan nafkah kepadaku.” Maka Umar pun bangkit dan menohok leher Hafshoh , begitu pula Abu Bakr dengan Aisyah, keduanya berkata : “Mengapa kalian minta kepada Rosululloh yang tidak beliau punyai ? maka keduanya menjawab : “Wallohi, kami tidak minta yang tidak beliau punyai.” Lalu Rosululloh memisahkan diri dengan mereka selama satu bulan, kemudian turunlah firman Alloh :

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلاً {28} وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ اْلأَخِرَةَ فَإِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيم

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah [1213] dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Alloh dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Alloh menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab : 28,29 )

Maka Rosululloh memulainya dengan Aisyah : “Saya kepingin menyampaikan kepadamu sebuah perkara, jangan tergesa-gesa memutuskan sebelum engkau minta pendapat kedua orang tuamu.” Aisyah berkata : “Apa itu Wahai Rosululloh.” Maka Rosululloh membaca ayat ini , lalu Aisyah berkata : “Apakah mengenai engkau saya harus minta pendapat kedua orang tuaku, bahkan saya pilih Alloh, Rosul Nya dan kampung akhirat, tapi saya mohon kepada njenengan agar jangan bilang pada satupun istrimu dengan jawabanku ini.” maka Rosululloh menjawab : “Tidak ada seorangun diantara mereka yang bertanya mengenai ini kecuali akan aku jawab, karena saya tidak diutus oleh Alloh untuk menyulitkan namun Alloh mengutusku untuk mengajar dan membuat kemudahan.”

(HR. Muslim : 1478)

Lihatlah Fathimah binti Rosululloh, kesayangan Rosululloh dan penghulu wanita ahli surga. Namun, lihatlah kasus ini:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ مَا كَانَ لِعَلِيٍّ اسْمٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَبِي تُرَابٍ وَإِنْ كَانَ لَيَفْرَحُ بِهِ إِذَا دُعِيَ بِهَا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام فَلَمْ يَجِدْ عَلِيًّا فِي الْبَيْتِ فَقَالَ أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ فَقَالَتْ كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ شَيْءٌ فَغَاضَبَنِي فَخَرَجَ فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِنْسَانٍ انْظُرْ أَيْنَ هُوَ فَجَاءَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ قَدْ سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ فَأَصَابَهُ تُرَابٌ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُهُ عَنْهُ وَهُوَ يَقُولُ قُمْ أَبَا تُرَابٍ قُمْ أَبَا تُرَاب

Dari Sahl bin Sa’d berkata : “Nama yang paling dicintai Ali bin Abi Tholib adalah Abu Turob (Bapak tanah) dan dia sangat senang kalau dipanggil dengan nama itu. Karena suatu ketika Rosululloh datang ke rumah Fathimah namun beliau tidak menemukan Ali dirumah, lalu Rosululloh bertaya : “Dimana sepupumu (Ali) ? Fathimah menjawab : “Kami sedang ada masalah, lalu dia marah kepadaku, kemudian dia keluar dan tidak tidur siang dirumah.” Maka Rosululloh berkata pada seseorang : “Carilah, dimana dia ? Maka orang itupun datang seraya berkata : “Wahai Rosululloh , Ali tidur di masjid.” Maka Rosululloh pun datang dan saat itu baju beliau terjatuh ketanah, maka beliau pun kena tanah, maka Rosululloh mengusapnya dan mengatakan : “Bangun wahai Abu Turob, bangun wahai Abu Turob.”

(HR. Bukhori : 6280, Muslim : 2409)

Ini cuma dua kasus dari sekian banyak yang ada, yang terjadi pada zaman yang mulia dan dilakoni oleh orang-orang mulia, apakah engkau bisa mengambil pelajaran darinya?

.

C. BELUM TENTU ITU KEWAJIBAN MEREKA

Masak, nyapu rumah, cuci piring, cuci ompol anak sudah menjadi kelaziman umum bahwa itu tugas istri, saya tidak hendak membahas masalah ini, karena ada tempatnya tersendiri insya Alloh, yang disitu insya Alloh anda akan mengetahui bahwa para ulama’ berselisih tajam apakah semua itu tugas istri ataukah suami, namun anggaplah kita ambil pendapat yang mengatakan bahwa itu semua adalahSaya mencintaimu karena الله tugas istri dirumah, namun apakah dengan begitu maka berarti seorang suami lepas tangan seraya berkata :

“Itukan tugas dan tanggung jawabmu, tugasmu adalah tugasmu dan tugasku adalah tugasku.” kemudia dengan alasan semacam itu, maka selama suami berada dirumah sepulang kerja atau hari libur maka seakan-akan itu adalah waktu istirahat total yang tidak boleh diganggu ?

Wallohi, tidak wahai saudaraku !!! Lihatlah panutan kita Rosululloh, orang yang sangat sibuk ngurusi dakwah sekaligus ngurusi ummat , bagaimanakah beliau dalam rumahnya ?

Aisyah menceritakan kepada kita apa yang beliau kerjakan :

Ibrohim bin Aswad berkatanya kepada Aisyah : “Apakah yang dikerjakan oleh Rosululloh saat bersama keluarganya ? Aisyah menjawab : “Beliau mengerjakan pekerjaan keluarganya, lalu apabila tiba waktu sholat beliau keluar rumah untuk sholat.”

(HR. Bukhori : 6039)

Bukankah Rosululloh juga pernah menjahit bajunya sendiri …?
Bukankah para sahabat Rosululloh juga melakukan hal yang sama … ?


  • Akhil Aziz, mengaji, ta’lim, kerja kantor dan lainnya adalah sebuah kewajiban, namun ngurusi keluarga juga sebuah kewajiban, orang yang bijak adalah orang yang bisa menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.

Lihatlah hadits Handlolah berikut ini :

عَنْ حَنْظَلَةَ الْأُسَيِّدِيِّ قَالَ وَكَانَ مِنْ كُتَّابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَقِيَنِي أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ كَيْفَ أَنْتَ يَا حَنْظَلَةُ قَالَ قُلْتُ نَافَقَ حَنْظَلَةُ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ مَا تَقُولُ قَالَ قُلْتُ نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّى كَأَنَّا رَأْيُ عَيْنٍ فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَافَسْنَا الْأَزْوَاجَ وَالْأَوْلَادَ وَالضَّيْعَاتِ فَنَسِينَا كَثِيرًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ فَوَاللَّهِ إِنَّا لَنَلْقَى مِثْلَ هَذَا فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ نَافَقَ حَنْظَلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا ذَاكَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ نَكُونُ عِنْدَكَ تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّى كَأَنَّا رَأْيُ عَيْنٍ فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ عَافَسْنَا الْأَزْوَاجَ وَالْأَوْلَادَ وَالضَّيْعَاتِ نَسِينَا كَثِيرًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِي وَفِي الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلَائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً ثَلَاثَ مَرَّاتٍ *

Dari Handlolah Al Usayyidi (beliau adalah salah satu penulis wahyu Rosululloh ) berkata : “Abu Bakr bertemu denganku lalu berkata: “Bagaimana khabarmu wahai Handlolah?

Saya menjawab : “Handlolah telah munafiq.”

Berkata Abu Bakr : “Subhanalloh, apa yang barusan engkau katakan tadi?.”

Saya menjawab : “Kalau kita sedang bersama Rosululloh, lalu beliau mengingatkan kita akan neraka dan surga seakan-akan kita melihatnya secara langsung, namun apabila kita pulang kita tersibukan dengan istri, anak dan pekerjaan, maka banyak yang kita lupakan.”

Maka Abu Bakr berkata : “Wallohi, saya pun demikian.”

Maka saya dan Abu Bakr datang menemui Rosululloh , lalu saya berkata : “Wahai Rosululloh , Handlolah telah munafiq ? Rosululloh bertanya : “Emangnya kenapa ?”

Saya jawab : “Wahai Rosululloh, Kalau kami sedang bersamamu , engkau ingatkan kami akan neraka dan surga maka seakan–akan kami melihatnya secara langsung, namun apabila kita pulang lalu kami tersibukkan dengan istri, anak, dan pekerjaan maka kami banyak lupa.”

Maka Rosululloh bersabda :

“Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan Nya, seandainya kalian tetap seperti saat kalian bersamaku, niscaya para malaikat akan menyalami kalian saat ditempat tidur maupun di jalanan. Akan tetapi wahai Handlolah, sekali tempo, sekali tempo (tiga kali).”

(HR. Muslim 2750)

Kalau beribadah terus menerus, puasa terus menerus, sholat terus menerus dengan meninggalkan keluarganya saja dilarang oleh Rosululloh, lalu bagaimana dengan lainnya ?

Ummul mu’minin Aisyah menceritakan kepada kita tentang kisah antara Utsman bin Madh’un dengan istrinya, beliau berkata :

“Datang kepadaku Khuwailah binti Hakim bin Umayyah bin Haritsah bin Al Auqoshi as Sulmiyah, dan dia itu adalah istrinya Utsman bin Madh’un, lalu Rosululloh melihat lusuhnya penampilah Khuwailah. Maka beliau bertaya : “Wahai Aisyah, alangkah lusuhnya penampilan Khuwailah.”

Maka saya menjawab : “Wahai Rosululloh , dia itu bagaikan seorang wanita tak bersuami, karena suaminya selalu berpuasa pada waktu siang dan selalu sholat pada waktu malam, maka dia itu seakan-akan tidak punya suami. Oleh karena itu dia biarkan dirinya dan tidak diurus.”

Maka Rosululloh mengirim utusan memangil Utsman bin Madh’un. Dia pun datang.

Maka, Rosululloh bertanya: “Wahai Utsman , apakah engkau membenci sunnahku?

Dia mejawab : Demi Alloh, tidak wahai Rosululloh, bahkan sunnahhmu lah yang saya cari.”

Maka, Rosululloh bersabda : “Namun saya tidur dan sholat, puasa dan berbuka. Saya juga menikah dengan wanita. Takutlah engkau kepada Alloh wahai Utsman, karena keluargamu mempunyai hak yang harus engkau penuhi, tamumu pun mempunyai hak yang harus engkau penuhi dan dirimu juga mempnyai hak yang harus engkau tunaikan, maka puasa dan berbukalah, sholat dan tidurlah.”

(HR. Ahmad : 26839 dengan sanad shohih)

D. HARGAI DAN JANGAN CARI-CARI KESALAHAN!

Saat Rosululloh pulang dari masjid, lalu datang ke rumah Aisyah dan bertanya :

“Wahai Aisyah, apakah ada makanan ? Maka, Aisyah menjawab :“Tidak ada makanan apa-apa wahai Rosululloh, maka Rosululloh bersabda : “Kalau begitu saya puasa.” (HR. Muslim : 1451)

Terkadang banyak masalah kecil yang bisa memicu permasalahan suami istri. Makanan misalnya, mungkin seorang istri sudah capek-capek masak sambil momong anak, namun tatkala suami datang dan mencicipi makanan, lalu dengan enteng dia mengatakan,

“Masakannya nggak enak”,

” Masak masak sayur rasanya begini”,

atau kata yang senada…

  • Tentu akan sangat menyakitkan.

Kenapakah kita tidak berusaha meniru jejak Rosululloh?

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أَهْلَهُ الْأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ *

Dari Jabir bin Abdillah bahwasannya Rosululloh minta lauk pada keluarganya, namun mereka mengatakan : “Kita tidak punya apa-apa kecuali cuka.” Maka Rosululloh pun tetap memintanya dan beliau makan dengannya, seraya berkata : “Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.”

(HR. Muslim : 2052)

Apakah benar bahwa cuka adalah sebaik-baik lauk? Tentu semua orang mengatakan tidak, karena daging, keju dan lainya jauh lebih baik, namun kenapa Rosululloh mengatakan hal itu pada istrinya?

Di antara yang bisa ditangkap adalah untuk menyenangkan , menghargai dan tidak melukai hatinya, bukankah beliau yang mengajarkan untuk tidak mencela makanan?

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ *

Dari Abu Huroiroh berkata :

“Rosululloh sama sekali tidak pernah mencela makanan, jika beliau senang maka beliau makan, namun jika tidak maka beliau tinggalkan.” (HR. Bukhori :5409 , Muslim : 2046)

Rosululloh juga mengajarkan kepada kita kalau pulang dari perjalanan agar jangan pulang mendadak tapi harus terlebih dahulu memberitahukan akan kedatangannya.

Dari Jabir bin Abdillah berkata :

“Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian pergi lama, maka janganlah dia pulang mendadak pada waktu malam.”

(HR. Bukhori : 5244)

  • Ada apakah gerangan (maksud hadits di atas -ed)? Jawabnya, supaya tidak membuka jalan bagi suami untuk mencari-cari kesalahan si istri, atau mungkin agar suami tidak melihat istrinya dalam keadaan yang tidak menyenangkan.

.

E. DALAM KISAH MEREKA TERDAPAT SEBUAH PELAJARAN

  • Ya Allah mudahkanlah...Syaikh Mahmud Mahdi al Istanbuli dalam Tuhfatus Arus menceritakan sebuah kisah yang sangat menarik

Ada seorang laki-laki yang datang keada Amirul Mu’minin Umar bin Khothob dan berkata : “Saya sudah tidak lagi mencintai istriku“.

Maka, Umar berkata : “Sesungguhnya sebuah rumah tangga itu tidak cukup dibangun berdasarkan cinta saja.”

Engkau benar wahai Amirul Mu’minin, memang tidak selamanya dengan cinta, namun ada pengorbanan, terdapat pengabdian serta ditemukan perjuangan.

  • Imam Ibnul Jauzi dalam Shoidul Khothir menyebutkan sebuah judul yang unik dan menarik : “Bagaimana engkau bersikap pada istri yang tidak engkau cintai.” Ada banyak kisah yang beliau ceritakan , namun saya petik beberapa diantaranya :

Ada seseorang yang bertanya kepada Abu Utsman An Naisaburi : “Apakah amal perbuatanmu yang paling engkau harapkan pahalanya? Dia menjawab : “Dahulu saat saya masih remaja, keluargaku sangat bersemangat menikahkanku namun saya menolak, kemudian datanglah kepadaku seorang wanita dan berkata, “Wahai Abu Utsman , saya mencintaimu, dan saya mohon atas nama Alloh agar engkau menikahiku.

Berkata Abu Utsman, “Lalu sayapun mendatangi bapaknya, ternyata dia itu orang fakir, lalu dia menikahkan aku dan dia sangat gembira. Lalu saat istriku masuk menemuiku ternyata dia itu WANITA YANG “SANGAT JELEK” namun cara pergaulannya kepadaku membuatku tidak bisa keluar. Maka, saya pun tetap berada di tempat dan saya tidak menampakkan kebencian padanya, meskipun sebenarnya hatiku seperti berada di atas tungku api karena memendam kebencian padanya. Saya tetap melakukan itu semua selama lima belas tahun sehingga dia meninggal dunia. Oleh karena itu, tidak ada amal perbuatan yang paling saya harapkan pahalanya melainkan saat aku menjaga perasaan hatinya.”

.

F. AKHIR KALAM

Tiada kata yang paling pantas untuk ku tutup nasehat ini kecuali sabda Rosululloh :

أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا و خياركم خياركم لنسائكم

“Orang mu’min yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.”

(HR. Ahmad 2/472 dari Abu Huroiroh dengan sanad shohih)

Wallohul Muwaffiq Wallohu A’lam

.

www.ahmadsabiq.com

(Web ini belum diaktifkan)


Hukum Seputar Darah Wanita: Darah Nifas

Hukum Seputar Darah Wanita: Darah Nifas

Penulis: Ummu Rumman Siti Fatimah
Muraja’ah: ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar

Waktu persalinan adalah salah satu momen paling mendebarkan bagi seorang wanita. Karena momen ini merupakan bagian dari jihad teragung kaum wanita. Di mana seorang wanita yang meninggal saat melahirkan bahkan termasuk golongan manusia yang mati syahid (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Setelah momen ini, seorang wanita akan memulai babak baru kehidupannya menjadi seorang ibu yang mempunyai kewajiban mendidik buah hatinya. Dan sebaik-baik pendidikan untuk anak adalah dengan pendidikan agama.

Ternyata, momen penting ini pun tak lepas dari perhatian syariat karena pada saat persalinan seorang wanita akan mengeluarkan darah nifas. Sebagaimana haid dan istihadhah, darah nifas termasuk jenis darah yang biasa terjadi pada wanita. Oleh karena itu, para muslimah hendaknya mengetahui hukum-hukum seputar darah nifas.

Apakah Darah Nifas itu??
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan. Baik darah itu keluar bersamaan ketika proses melahirkan, sesudah atau sebelum melahirkan, yang disertai dengan dirasakannya tanda-tanda akan melahirkan, seperti rasa sakit, dll. Rasa sakit yang dimaksud adalah rasa sakit yang kemudian diikuti dengan kelahiran. Jika darah yang keluar tidak disertai rasa sakit, atau disertai rasa sakit tapi tidak diikuti dengan proses kelahiran bayi, maka itu bukan darah nifas.

Selain itu, darah yang keluar dari rahim baru disebut dengan nifas jika wanita tersebut melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Jika seorang wanita mengalami keguguran dan ketika dikeluarkan janinnya belum berwujud manusia, maka darah yang keluar itu bukan darah nifas. Darah tersebut dihukumi sebagai darah penyakit (istihadhah) yang tidak menghalangi dari shalat, puasa dan ibadah lainnya.

Perlu ukhty ketahui bahwa waktu tersingkat janin berwujud manusia adalah delapan puluh hari dimulai dari hari pertama hamil. Dan sebagian pendapat mengatakan sembilan puluh hari.

Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud sradhiyallahu ‘anhu , bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada kami, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang benar dan yang mendapat berita yang benar, “Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah seperti itu pula, kemudian menjadi mudhghah seperti itu pula. Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan kepadanya untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut Ibnu Taimiyah, “Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak dianggap sebagai nifas. Namun jika sesudah masa minimal, maka ia tidak shalat dan puasa. Kemudian apabila sesudah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan (bayi belum berbentuk manusia-pen) maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban. Tetapi kalau ternyata demikian (bayi sudah berbentuk manusia-pen), tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban.” (kitab Syarhul Iqna’)

Secara ringkas dapat disimpulkan beberapa hal untuk mengenali darah nifas:

  1. Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan melahirkan, baik sebelum, bersamaan atau sesudah melahirkan
  2. Disertai dengan tanda-tanda akan melahirkan (seperti rasa sakit, dll) yang diikuti dengan proses kelahiran
  3. Bayi yang dilahirkan/ dikeluarkan sudah berbentuk manusia (terdapat kepala, badan dan anggota tubuh lain seperti tangan dan kaki, meskipun belum sempurna benar)

Lama Keluarnya Darah Nifas
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyah lin Nisa mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat tentang apakah nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya.

Adapun Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al Khalafi di dalam Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz mengatakan bahwa nifas ada batas maksimalnya, yaitu empat puluh hari. Pendapat beliau berdasarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata, “Kaum wanita yang nifas tidak shalat pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama empat puluh hari.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Hadits hasan shahih). Waktu empat puluh hari dihitung sejak keluarnya darah, baik darahnya itu keluar bersamaan, sebelum atau sesudah melahirkan.

Pendapat yang kuat, insyaa Allah, pada dasarnya tidak ada batasan minimal atau maksimal lama waktu nifas. Waktu empat puluh hari adalah kebiasaan sebagian besar kaum wanita. Akan tetapi apabila sebelum empat puluh hari wanita tersebut telah suci, maka ia wajib mandi dan melakukan ibadah wajibnya lagi.

Mengenai banyaknya darah, juga tidak ada batasan sedikit atau banyaknya. Selama darah nifas masih keluar maka sang wanita belum wajib mandi (bersuci).

Secara ringkas, ada beberapa kondisi wanita yang sedang nifas:

  1. Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari dan tidak keluar lagi setelah itu. Maka sang wanita wajib mandi (bersuci) dan kemudian melakukan ibadah wajibnya lagi, seperti shalat dan puasa, dll.
  2. Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari, akan tetapi kemudian darah keluar lagi sebelum hari ke-40. Maka, jika darah berhenti ia mandi (bersuci) untuk shalat dan puasa. Jika darah keluar, ia harus meninggalkan shalat dan puasa. Akan tetapi, bila berhentinya darah kurang dari sehari, maka tidak dihukumi suci.
  3. Darah nifas terus keluar dan baru berhenti setelah hari ke-40. Maka sang wanita harus mandi (bersuci).
  4. Darah terus keluar hingga melebihi waktu 40 hari. Ada beberapa kondisi:
    1. Darah nifas berhenti dilanjutkan keluarnya darah haid (berhentinya darah nifas bertepatan waktu haid), maka sang wanita tetap meninggalkan shalat dan puasa. Darah yang keluar setelah 40 hari dihukumi sebagai darah haid. Sang wanita baru wajib mandi (bersuci) setelah darah haid tidak keluar lagi.
    2. Darah tetap keluar setelah 40 hari dan tidak bertepatan dengan kebiasaan masa haid, ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut ulama yang berpendapat bahwa lama maksimal nifas adalah 40 hari, menilai darah yang keluar setelah 40 hari sebagai darah fasadh (penyakit) yang statusnya adalah sebagaimana istihadhah. Sedangkan menurut ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal dan maksimal lama nifas, mereka menilai darah yang keluar setelah 40 hari tetap sebagai darah nifas. Pendapat inilah yang lebih kuat, insya Allah.

Akan tetapi, jika ingin berhati-hati, setelah 40 hari dinilai suci. Sehingga sang wanita bersuci untuk melaksanakan shalat dan puasa, meski darah tetap keluar. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada 2 keadaan:

  • Ada tanda bahwa darah akan berhenti/ makin sedikit. Maka sang wanita menunggu darah berhenti keluar, baru kemudian mandi (bersuci)
  • Ada kebiasaan dari kelahiran sebelumnya, maka itu yang dipakai. Misal, sang wanita telah mengalami beberapa kali nifas yang lamanya 50 hari. Maka batasan ini yang dipakai.

Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita yang Nifas
Para ulama telah bersepakat bahwa wanita yang sedang nifas diharamkan melakukan apa saja yang diharamkan bagi wanita yang haid. Antara lain,

  1. Sholat.
    Wanita yang haid dan nifas haram melakukan shalat fardhu maupun sunnah, dan mereka tidak perlu menggantinya apabila suci. (Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Muhalla)
  2. Puasa.
    Wanita yang sedang nifas tidak boleh melakukan puasa wajib maupun sunnah. Akan tetapi ia wajib mengqadha puasa wajib yang ia tinggalkan pada masa nifas. Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Ketika kami mengalami haid, kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (Muttafaq ‘alaih)
  3. Thawaf.
    Wanita haid dan nifas diharamkan melakukan thawaf keliling ka’bah, baik yang wajib maupun sunnah, dan tidah sah thawafnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di ka’bah sampai kamu suci.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  4. Jima’.
    (lihat sub judul “Hukum Suami yang Bercampur dengan Istri yang sedang Nifas”)
  5. Tidak bleh diceraikan.
    Diharamkan bagi suami menceraikan istrinya yang sedang haid atau nifas. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (dengan wajar).” (Qs. ath-Thalaq: 1)

Hukum-hukum Seputar Nifas
Tidak ada perbedaan hukum antara haid dan nifas, kecuali beberapa hal di bawah ini:

1. Iddah
Apabila wanita tidak sedang hamil, masa iddah dihitung dengan haid, bukan dengan nifas. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (Qs. al-Baqarah: 228)
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, yang dimaksud ‘quru‘ adalah haid, dan inilah pendapat yang lebih kuat, insyaa Allah. Oleh karena itu, masa iddah dihitung berdasarkan haid, bukan nifas. Sebab, jika suami menceraikan istrinya sebelum melahirkan, masa iddahnya habis karena melahirkan, bukan karena nifas. Adapun jika suami menceraikan istrinya setelah melahirkan, maka masa iddahnya adalah sampai sang istri mendapat 3 kali haid.

2. Masa Ila’
Ila’ adalah sumpah seorang laki-laki untuk tidak melakukan jima’ terhadap istrinya selamanya atau lebih dari empat bulan. Setelah masa empat bulan, bila sang istri meminta untuk berhubungan, maka sang suami harus memilih antara jima’ atau bercerai.

Masa haid termasuk hitungan masa ila’, sedangkan masa nifas tidak. Jadi, apabila seorang suami bersumpah untuk tidak berjima’ dengan istrinya, sedangkan istrinya sedang dalam keadaan nifas, maka masa ila’ ditetapkan empat bulan ditambah masa nifas. Setelah masa itu, bila sang istri meminta untuk melakukan jima’, sang suami harus memilih apakah jima’ atau bercerai.

3. Balighnya seorang wanita dihitung dari saat haid pertama kali, bukan nifas.


Hukum Suami yang Bercampur dengan Istri yang sedang Nifas
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Menggauli wanita nifas sama halnya dengan wanita haid, hukumnya haram menurut kesepakatan ulama.” (Lihat Majmu’ Fatawa)
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang wanita haid, maka katakanlah, “Bahwa haid adalah suatu kotoran, maka janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci.” (Qs. al-Baqarah: 222)

Seorang suami boleh sekedar bercumbu dengan istri yang sedang nifas asal tidak sampai jima’. Akan tetapi bila sampai terjadi jima’, para ulama berselisih pendapat apakah wajib membayar kaffarah (denda) ataukah tidak (Lihat al-Mughni oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah).

Pendapat yang lebih kuat, insya Allah, wajib membayar kaffarah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas sradhiyallahu ‘anhu . Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , ketika berbicara tentang seorang suami yang mencampuri istrinya di waktu haid, Rasulullah bersabda, “Hendaklah ia bershadaqah satu dinar atau separuh dinar.” (Shahih Ibnu Majah no:523, ‘Aunul Ma’bud 1:445 no:261, Nasa’ai I:153, Ibnu Majah 1:210 no:640. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani)

Adapun apabila seorang wanita telah suci dari nifas sebelum 40 hari, kebanyakan ulama berpendapat bahwa suami tidak dilarang untuk menggaulinya. Dan inilah pendapat yang kuat. Karena tidak ada dalil syar’i yang melarangnya.

Riwayat yang ada hanyalah dari Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa istrinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata, “Jangan engkau dekati aku!” Akan tetapi, ucapan Utsman tersebut bukan berarti seorang suami terlarang menggauli istrinya. Sikap Utsman tersebut mungkin timbul karena kehati-hatiannya, yaitu khawatir istrinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau hal lain. (Lihat al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz)

Karena itu, apabila pada diri seorang suami atau istri timbul keragu-raguan, maka hendaklah memastikan dahulu, apakah sang istri benar-benar telah suci dari darah nifasnya. Karena secara medis, jima’ aman dilakukan bila sang istri telah melewati masa nifas, kecuali bila saat itu sang istri langsung mengalami haid, terjadi perdarahan, atau sedang menjalani terapi tertentu. Apabila masih ragu, hendaklah berkonsultasi dengan dokter. Apakah kondisi sang istri telah normal dan benar-benar pulih secara medis sehingga bisa dicampuri oleh suaminya. Karena dalam hal ini kondisi setiap wanita berbeda-beda. Tidak selayaknya seorang muslim melakukan hal yang berbahaya dan membahayakan orang lain.
Wallahu Ta’ala a’lam.

Maraaji’ :
Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz (Terj.), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al Khalafi (Pustaka As Sunnah)
Darah Kebiasaan Wanita (terjemahan Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyah lin Nisa), Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin (penerbit Darul Haq)
Catatan Daurah Muslimah “Darah Kebiasaan Wanita” oleh ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar, tahun 2007
Catatan Kajian Al Wajiz oleh ustadz Muslam, tahun 2004

***

Artikel muslimah.or.id