Jumat, 12 Maret 2010

Obat Ketika Merindukan Si Dia

Tak bisa disangkal, manusia akan selalu bersentuhan dengan cinta. Sementara kecintaan memberikan buah kerinduan. Orang yang mencinta akan rindu kepada orang yang dicintainya.
Kerinduan kepada kekasih, seringkali membekaskan duka. Karena sudah tahu bahwa pacaran bukanlah jalan yang halal untuk ditempuh, maka nikahlah satu-satunya yang jadi pilihan. Padahal si pria belum mampu memberi nafkah lahir. Wanita pun masih muda dan dituntut oleh orang tua untuk menyelesaikan sekolah atau meraih gelar. Akhirnya, karena tidak kesampaian untuk nikah, maka pacaran terselubung sebagai jalan keluar karena tidak kuat menahan rasa rindu pada si dia. Lewat chatting, inbox FB atau sms jadi jalur alternatif.
Inilah yang dialami pemuda masa kini. Mungkin juga dialami para aktivis dakwah. Agar dikira tidak melalui pacaran, maka sms dan chatting yang jadi pilihan. Seharusnya rasa rindu ini bisa dipendam dengan melakukan beberapa kiat yang akan kami utarakan[1]. Semoga Allah senantiasa memberi taufik.
Terapi dari Rasa Rindu dengan Segera Nikah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah[2], maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.”[3]
Yang dimaksud dengan syabab (pemuda) di sini adalah siapa saja yang belum mencapai usia 30 tahun. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah.[4]
Secara bahasa, baa-ah bermakna jima’ (berhubungan suami istri). Sedangkan mengenai makna baa’ah dalam hadits di atas terdapat ada dua pendapat di antara para ulama, namun intinya kembali pada satu makna.
Pertama: makna baa-ah adalah sebagaimana makna secara bahasa yaitu jima’. Sehingga makna hadits adalah barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk berjima’ karena mampu memberi nafkah nikah, maka menikahlah. Barangsiapa yang tidak mampu berjima’ karena ketidakmampuannya memberi nafkah, maka hendaklah ia memperbanyak puasa untuk menekan syahwatnya dan untuk menghilangkan angan-angan jeleknya.
Pendapat kedua: makna baa-ah adalah kemampuan memberi nafkah. Dimaknakan demikian karena konsekuensi dari seseorang mampu berjima’, maka tentu ia harus mampu memberi nafkah. Sehingga makna hadits adalah barangsiapa yang telah mampu memberi nafkah nikah, maka hendaklah ia menikah. Barangsiapa yang tidak mampu, maka berpuasalah untuk menekan syahwatnya.
Jadi maksud dari dua pendapat ini adalah sama yaitu harus punya kemampuan untuk memberi nafkah. Sehingga inilah yang menjadi syarat seseorang (khususnya pria) untuk membina rumah tangga dengan kekasih pilihan, yaitu ia memiliki kemampuan untuk memberi nafkah keluarga. Hal ini yang banyak disalahpahami sebagian pemuda. Mereka ngebet minta nikah pada ortunya. Padahal sesuap nasi saja masih ngemis pada ortunya. Hanya Allah yang memberi taufik.
Dari sini, barangsiapa yang memiliki kemampuan, maka segeralah untuk menikah guna memadamkan rasa rindu yang ada. Menikah di sini tidak mesti dengan orang yang selalu dirindukan. Boleh jadi, juga dengan orang lain. Karena nikah telah mencukupkan segala kebutuhan jiwa di samping dalam nikah akan ditemui banyak keberkahan. Jika memungkinkan menikah dengan orang yang dirindukan, maka menikahlah dengannya. Ini merupakan terapi manjur.
Berusaha untuk Ikhlas dalam Beribadah
Ikhlas adalah obat manjur penyakit rindu. Jika seseorang benar-benar ikhlas menghadapkan diri pada Allah, maka Allah akan menolongnya dari penyakit rindu dengan cara yang tak pernah terbetik di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan nikmat dalam beribadah akan mengalahkan cinta-cinta lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sungguh, jika hati telah merasakan manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, niscaya ia tidak akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah, lebih nikmat dan lebih baik daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan sesuatu yang dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih dicintainya. Atau karena adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang buruk akan bisa dihilangkan dengan cinta yang baik. Atau takut terhadap sesuatu yang membahayakannya.”
Hati yang tidak ikhlas akan selalu diombang-ambingkan nafsu, keinginan, tuntutan serta cinta yang memabukkan. Keadaannya tak beda dengan sepotong ranting yang meliuk ke sana kemari mengikuti arah angin.
Banyak Memohon pada Allah
Setiap do’a yang kita panjatkan pasti akan bermanfaat. Boleh jadi do’a tersebut segera dikabulkan oleh Allah. Boleh jadi sebagai simpanan di akhirat. Boleh jadi dengan do’a kita tadi, Allah akan menghilangkan kejelekan yang semisal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selam tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allahu akbar (Allah Maha besar).”[5]
Ketika seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam berdo’a, merasakan kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan do’anya. Termasuk di antaranya apabila seseorang memohon pada Allah agar dilepaskan dari penyakit rindu dan kasmaran yang terasa mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah gulana, sedih dan sengsara. Oleh karena itu, perbanyaklah do’a.
Memenej Pandangan
Pandangan yang berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga terbakarlah api dengan kerinduan. Orang yang memandang dengan sepintas saja jarang yang mendapatkan rasa kasmaran. Namun pandangan yang berulang-ulanglah yang merupakan biang kehancuran. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menundukkan pandangan agar hati ini tetap terjaga. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.”[6]
Mujahid mengatakan,
غَضُّ الْبَصَرِ عَنْ مَحَارِمِ اللَّهِ يُورِثُ حُبَّ اللَّهِ
“Menundukkan pandangan dari berbagai hal yang diharamkan oleh Allah, akan menimbulkan rasa cinta pada Allah.”[7] Berarti menahan pandangan dari wanita yang bukan mahrom akan menimbulkan rasa cinta pada Allah. Menundukkan pandangan yang dimaksud di sini ada dua macam yaitu memandang aurat sesama jenis dan memandang wanita yang bukan mahram.
Tiga faedah dari menundukkan pandangan telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[8]
Pertama: Akan merasakan manis dan lezatnya iman. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, Dia akan memberi ganti dengan yang lebih baik.
Kedua: Akan memberi cahaya pada hati dan akan memiliki firasat yang begitu cemerlang.
Ketiga: Akan lebih menguatkan hati.
Lebih Giat Menyibukkan Diri
Dalam situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Oleh karena itu, untuk memangkas kerinduan seseorang hendaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat baik untuk dunia atau akhirat. Hakikat dari rasa rindu adalah kesibukan hati yang kosong. Di kala sepi sendiri, tanpa aktivitas muncullah bayangan sang kekasih, wajah, gerak-gerik, dan segala yang berkaitan dengannya. Seluruhnya hanya sekedar bayangan dan khayalan yang berakhir dengan kesedihan diri. Tiada manfaatnya sedikit pun bagi kehidupan kita.
Ibnul Qayyim menyebutkan nasehat seorang sufi yang ditujukan pada Imam Asy Syafi’i. Ia berkata,
وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ
Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).”[9]
Menghindari Nyanyian dan Film Percintaan
Nyanyian dan film-film percintaan memiliki andil besar untuk mengobarkan kerinduan pada orang yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut dikemas dengan mengharu biru, mendayu-dayu tentu akan menggetarkan hati orang yang sedang ditimpa kerinduan. Akibatnya rasa rindu kepadanya semakin memuncak, berbagai angan-angan yang menyimpang pun terbetik dalam hati dan pikiran. Bila demikian, sudah layak jika nyanyian dan tontonan seperti ini dan secara umum ditinggalkan. Demi keselamatan dan kejernihan hati. Sehingga sempat diungkapkan oleh beberapa ulama nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.[10]
Imam Asy Syafi’i berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.[11]
Bayangkan Kekurangan Si Dia
Ingatlah selalu, orang yang engkau rindukan bukanlah pribadi yang sempurna. Ia sangat banyak kekurangan, sehingga tidak layak untuk dipuja, disanjung atau senantiasa dirindukan. Orang yang dirindukan sebenarnya tidak seperti yang dikhayalkan dalam lamuman.
Ibnul Jauzi berkata, “Sesungguhnya manusia itu penuh dengan najis dan kotoran. Sementara orang yang dimabuk cinta senantiasa melihat kekasihnya dalam keadaan sempurna. Disebabkan cinta ia tidak lagi melihat adanya aib.”
Kita bisa menghukumi sesuatu dengan timbangan keadilan sedangkan orang yang sedang kasmaran tengah dikuasai oleh hawa nafsunya sehingga tak dapat bersikap dengan adil. Kecintaannya menutupi seluruh aib yang dimiliki oleh pasangannya.
Para ahli hikmah berkata, “Mata yang diliputi oleh hawa nafsu akan menjadi buta.”
Semoga Allah memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
Pangukan, Sleman, Kamis, 24 Dzulqo’dah 1430 H


[1] Kiat-kiat ini kami olah dari pembahasan Majalah Elfata, edisi 02, volume 05, tahun 2005.
[2] Baa-ah ada tiga penyebutan lainnya: [1] al baah (الْبَاءَة), [2] al baa’ (الْبَاء), dan [3] al baahah (الْبَاهَة). Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 5/70, Mawqi’ Al Islam.
[3] HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.
[4] Lihat Syarh Muslim, 5/70.
[5] HR. Ahmad no. 11149, 3/18, dari Abu Sa’id. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (bagus). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[6] HR. Muslim no. 2159.
[7] Majmu’ Al Fatawa, 15/394, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H
[8] Majmu’ Al Fatawa, 15/420-426
[9] Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[10] Lihat Talbis Iblis, 289, Asy Syamilah
[11] Talbis Iblis, 283

Sabtu, 06 Maret 2010

Di Manakah Tali Cinta-mu Bergantung?

 

Cinta itu anugerah. Tak seorangpun menampiknya. Karena anugerah, maka cinta kerap datang secara tiba-tiba, bahkan seringkali tanpa si pemilik cinta menghendaki kehadirannya. Yah, betapa banyak di antara kita yang ‘menyesal’ karena lebih menyukai gudeg ketimbang burger.  Tapi kecintaan pada makanan itu datang begitu saja.
Persoalannya, meski cinta datang tak terduga-duga, ia selalu punya alasan kenapa hadir dalam kehidupan nyata. Cinta selalu datang dari pipa saluran yang berbeda-beda, meski sumbernya adalah sama. Berbeda pipa, karena berbeda alasan. Masing-masing alasan menentukan kwalitas cinta. Bingung? Mari deh, kita simak penuturannya berikut ini.
Cinta, Selalu Punya Alasan
Kita boleh saja menukas, bahwa cinta itu menyerbu hati kita, tanpa kita pernah memintanya.  Selain blind (buta), cinta juga blue (tak terduga-duga). Tapi kenyataannya, cinta selalu punya alasan ketika ia hadir di hati kita.
Okey, sebagai contoh, kita kembali ke soal makanan. Masyarakat Indonesia, meski kaya dengan beragam makanan, tapi miskin keragamam makanan pokok. Selain beberapa wilayah di tanah air yang memilih sagu atau jagung sebagai makanan pokok, umumnya masyarakat Indonesia hanya mengenal satu jenis makanan pokok: nasi.
Orang Cina sangat akrab dengan tiga jenis makanan pokoknya: Mie, Bakpao dan nasi. Yang manapun yang mereka santap, mereka tetap merasa bisa kenyang dengan nyaman.
Masyarakat Arab akrab dengan roti gandum, nasi dan makaroni sebagai makanan pokok.
Masyarakat Barat dan Eropa nyaman menyantap roti dan nasi sebagai makanan pokok.
Sebagian masyarakat Amerika Latin setidaknya akrab dengan dua jenis makanan pokok: Talas dan kacang merah.
Lalu, bisakah sebagai orang Indonesia kita mengatakan, “Kami dilahirkan, sudah sebagai penikmat satu jenis makan pokok saja. Cinta kami, hanya untuk nasi sebagai makanan pokok. No way untuk roti apalagi kacang-kacangan?”
Sebagai de facto, mungkin bisa. Secara de jure itu tak masuk akal.
Cinta kita kepada nasi sebagai makanan pokok tunggal, bukanlah semata-mata suratan. Tapi karena kita juga sengaja berprilaku ngotot, untuk sekali nasi tetap nasi. Untuk tak mau membiasakan diri menyantap jenis lain dari makanan pokok pengganti. Padahal, suka ada karena biasa. Witing trisna jalaran saka kulina. Nasi punya alasan kenapa ia menjadi primadona di lidah kita: karena kita yang mengundangnya secara sendirian dalam kehidupan makan kita.
Jadi, salah satu alasan cinta itu hadir: karena kita mengundang dan membiasakannya.
Orang yang cita-citanya tertuju pada dunia saja, urusannya akan Allah cerai beraikan,  kemiskinan senantiasa terbayang di pelupuk matanya, sementara dunia yang mendatanginya hanya sebatas yang telah Allah tetapkan baginya saja. Dan Siapa saja yang cita-citanya tertuju pada akhirat, pasti Allah beri keteguhan pada kesatuan jiwanya, kekayaan selalu melekat dalam hatinya, sementara dunia justru mendatanginya secara pasrah.[1]
Alasan-alasan Cinta
Cinta tentu punya banyak alasan untuk hadir di hati kita. Bila kita mau merenunginya, sungguh banyak keajaiban di sana.
Sebagian orang beralasan, bahwa ia mencinta calon isterinya dahulu, karena keindahan matanya. Siapa yang menyuruh dirinya untuk begitu peduli mencermati calon mempelainya sebegitu rupa?
Tentu ada latar belakang, kenapa ia begitu memuliakan mata. Sehingga cinta itupun ia betot untuk hadir, hanya karena keindahan sepasang mata.
Yah, bisa jadi ia membiasakan dirinya untuk meneliti berbagai jenis mata manusia. Yang hitam pekat bulatan tengahnya, yang bercampur biru warnanya, yang sering dibilang sebagai mata kucing, yang sipit, yang belo, yang sayu……yang ini dan yang itu. Mata, ternyata begitu banyak jenisnya.
Soal binatang kesayangan dia juga kerap menilai dari keindahan matanya. Itu sah-sah saja. Tapi selera itu tak muncul tiba-tiba.
Eh, ada seorang teman saya, yang menikahi calon isterinya dahulu, setelah mendengarkan kemerduan suaranya melantunkan ayat-ayat Allah…..
Selidik punya selidik, ternyata ia memang gemar membaca Al-Quran, sangat memerhatikan tajwid, tahsin dan makraj huruuf dalam bacaan Al-Quran. Maka seorang wanita shalihah, semakin bertambah nilainya hingga berkali-kali lipat, bila ketahuan bersuara indah dalam melantunkan ayat-ayat Allah.
Ehm, ada juga seorang teman yang menikahi wanita, setelah tahu sang calon isteri memiliki kemampuan bela diri yang memikat. Ternyata, ia sangat mengagumi tokoh Ummu Khalat dalam sejarah para Sahabat Nabi n. Seorang wanita bercadar, yang pernah ikut dalam peperangan sedemikian gagahnya. Nabi dan para Sahabat mengira ia seorang ksatria muslim yang tidak dikenal. Ternyata, ia adalah ‘pendekar’ muslimah bernama Ummu Khalat!
Alasan, atau dalam bahasa fiqihnya ‘illat, menjadi pencetus munculnya kesimpulan hukum. Cinta itu adalah hukum. Dan setiap hukum muncul bersama ‘illatnya. Apakah illat cintamu?
Ini, yang harus kita renungi baik-baik.
Alasan cinta atau ‘illat cinta, muncul dari pipa yang berbeda-beda. Ada pipa keyakinan atau ideologi. Ada pipa pergaulan atau sosial. Ada pipa wawasan dan ilmu pengetahuan atau science dan tsaqaafah. Ada juga pipa budaya,  suku, keluarga, hobi, dan seterusnya.
Dari pipa manapun alasan cinta itu bermula, carilah kemenangan dengan agama sebagai basis powernya. Itulah salah satu yang dapat kita mengerti dari sabda Nabi n,
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Menanglah dengan memilih agamanya, maka “taribat yadaaka” (dirimu akan selamat dari cela).” [2]
Agama, dijadikan sebagai starting powernya. Dari wilayah itu sebagai basis kekuatan memilih, seseorang bisa meragamkannya sesuai dengan berbagai latar belakang yang dia miliki.
Ia bisa memilihnya melalui pipa hobi, kecendrungan, ilmu pengetahuan, atau apa saja. Selama itu tidak berlawanan dengan konsep agama, dan selama ia berjalan bersinergi dengan nilai-nilai agama dan keyakinan yang lurus, ia bisa menjadi alasan kehadiran cinta.
gantungan tali Cinta
ketika cinta itu datang dengan segala alasannya; dengan satu, dua, tiga atau sekian alasan berbeda-beda sekaligus, tentu ia hadir bukan menggantung di awang-awang.
Cinta mengalir dari endapan pandangan mata, pendengaran telinga, penciuman hidung, dan campuran berbagai nuansa rasa yang menumpuk di hati, lalu membentuk cita rasa baru yang unik dan mengejutkan. Itulah cinta,
Saat ia muncul, ia bergantung pada sesuatu yang menjadi kekuatan wujudnya. Kalau cinta itu muncul akibat kesamaan visi dan misi kehidupan, maka cinta itu akan luntur saat visi dan misi dua orang yang saling mencintai itu kemudian bertabrakan atau bersimpangjalan.
Kalau  cinta itu muncul karena dorongan ambisi-ambisi duniawi tertentu, maka berkurangnya kwalitas dan kwantitas dunia yang direngkuh, akan membuat cinta itu kian lama kian kehilangan maknanya.
Namun, bila cinta itu bergantung pada perjalanan mengejar cinta Yang Maha Kuasa, Allah, Ar-Rahmaan Ar-Rahiem, maka cinta itu akan abadi, selama iman masih di kandung badan.
Abu Hurairah t meriwayatkan dari Rasulullah r,
“Ada se-orang laki-laki mengunjungi saudaranya di suatu kampung lain. Allah kemudian mengutus satu malaikat untuk mengawasi Madrajatahu[3]. Ketika sampai kepadanya, malaikat berkata,
“Anda mau ke mana?”
“Saya ingin mengunjungi saudaraku.” Jawabnya.
“Apakah ada sebab mendorong Anda untuk menziarahinya?”[4] Tanya malaikat itu lagi.
“ Tidak ada, selain aku mencintainya karena Allah.” Jawab orang itu pula.
Malaikat itu berkata, “Sesungguhnya saya adalah utusan Allah untuk Anda. Bahwa Allah I telah mencintai Anda sebagaimana Anda mencintai dia karena-Nya.”[5]
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ: أَنْ تُحِبَّ فِيْ اللهِ، وَتُبْغِضَ فِيْ اللهِ
“Pokok-pokok iman yang paling kuat adalah Anda mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”[6]
Maka, selidikilah terus menerus, di mana tali cinta kita bergantung. Betapa banyak orang yang kita cintai di dunia ini. Begitu berlimpah hal-hal dan sesuatu yang kita cinta di muka bumi ini. Di manakan tali cinta-cinta itu bergantung?
Apakah pada janji kehidupan dunia yang fana ini?
Apakah pada petuah dan nasihat manusia saja?
Apakah pada ambisi dan hasrat dunia semata?
Apakah pada fanatisme kekeluargaan, kesukuan dan kebangsaan saja?
Bila memang demikian, binasalah segala cinta yang ada. Karena segala sesuatu, selain Allah, pasti akan mengalami kebinasaan. Cepat atau lambat.
Di manakan tali cinta kita bergantung……………………………..????

[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 949. [2] Arti “Taribat Yadaak”, adalah bersentuhan dengan bumi. Itu merupakan bahasan kiasan yang artinya: membutuhkan. Ungkapan itu berwujud berita, tetapi artinya sebagai perintah. Lihat Fathul Bari IX : 38 – 39
[3] Jalannya
[4] “Tarubbuha” bermakna “berupaya memperbaikinya” dan “bangkit karenanya”
[5] HR. Muslim, No. 38, 4/1988
[6] HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir, No. 11537; Ibnu Syaibah dalam Al-Iman, hlm. 110, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, No. 1728

Selalu Ada Hikmah, Di Balik Percekcokan Rumah Tangga

Hikmah ‘Huru-Hara’ Rumah Tangga
Bagi kaum beriman, pernikahan memiliki nilai multikompleks. Nuansa iman dan pengabdian menjadi motivator tersendiri yang melahirkan berbagai target dan tujuan mulia dalam mengarungi hidup berumah tangga. Salah satu tujuan pernikahan dalam Islam yang memiliki nilai ‘greget’ paling dominan adalah mencari kebahagiaan.

Kenikmatan Di Balik Prahara

Mencari kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga tak ubahnya mencari ‘benda kesayangan’ yang lenyap di rerimbunan hutan belukar, atau menuntaskan dahaga dengan meneguk air embun yang dikumpulkan dari dedaunan di kebun yang luas membentang.  Sesuatu yang harus, tapi tidak bisa diperoleh dengan bersantai-santai, tidak bisa dicapai usaha yang dilakukan setengah-setengah. Namun di situlah letak seni kebahagiaan dalam rumah tangga, bahkan dalam persepsi umum,  juga kebahagiaan dalam segala hal.
Allah berfirman:

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Sesungguhnya di balik kesulitan, pasti terdapat kemudahan.” (Al-Insyiraah : 6)
Pepatah Arab mengatakan:
وَانْصَبْ فَإِنَّ   لَذِيْذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ
“Bersusahpayahlah. Kerena kenikmatan hidup itu didapatkan melalui kepayahan.”
Tentu saja,  segala kesulitan itu bukanlah hal yang kita cari-cari. Tapi garis takdir dan sunnatullah telah tergurat sedemikian rupa dalam realitas kehidupan rumah tangga siapapun di dunia ini, termasuk rumah tangga Rasulullah r. Bahkan realitas itu mirip dengan fenomena dosa. Setiap muslim harus menghindari dosa. Tapi tak seorangpun yang terbebas dari dosa. Sehingga Rasulullah r menegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya:
“Masing-masing anak manusia adalah pelaku dosa. Namun sebaik-baiknya orang yang berdosa adalah yang paling banyak bertaubat.”
Bahkan dalam Miftaah Daaris Sa’aadah jilid kedua, Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa di antara hikmah terjadinya dosa adalah agar semakin jelas keberadaan Allah sebagai Yang Maha Pengampun, dan juga keberadaan Allah sebagai Yang Maha Dahsyat siksa-Nya.  Melalui rangkaian dosa demi dosa, muncul berbagai keutamaan istighfar dan bertaubat. Bahkan karena ‘dosa’ Adam,  umat manusia berkesempatan melakukan banyak amal kebajikan, menebarkan amar ma’ruf nahi mungkar di dunia ini. Untuk tujuan itu pula di utus para nabi.  Semua itu adalah hikmah dari adanya dosa. Namun tidaklah berarti kita hidup untuk berbuat dosa. Demikian juga halnya berbagai problematika dalam hidup rumah tangga. Meski bukan hal yang dicari-cari, namun mau tidak mau harus tetap dihadapi, dan pada akhirnya, bagi seorang mukmin sejati, pasti akan menyemburatkan ribuan hikmah yang tersembunyi.

Ragam-ragam Kesulitan Rumah Tangga

Saat bahtera rumah tangga di lepas di pantai pelaminan, suka dan duka kehidupan suami istri mulai dikecap secara bergantian. Soal kenikmatan dan kebahagiaannya, tidak perlu diungkapkan lagi. Hanya sepasang pengantin yang sedang ‘dilanda’ bulan-bulan kenikmatan yang mampu mengungkapkannya secara lebih hidup dan nyata. Namun saat hubungan interaksi mulai berlangsung, saat kepekeaan, emosi dan tingkat intelektualitas mendapat ujian menghadapi batu-batu sandungan,  masing-masing harus lebih mawas diri. Kesabaran menjadi kata kunci menuju sukseks melawan dera masalah. Kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul, yang mungkin bisa diistilahkan sebagai bumbu rumah tangga, bisa berpangkal dari banyak hal. Mungkin di antaranya sebagai berikut:
  1. Perbedaan karakter dasar.
  2. Perbedaan tingkat intelejensi, kadar intelektualitas dan wawasan berpikir.
  3. Perbedaan usia yang terlalu menyolok.
  4. Perbedaan latar belakang pengalaman, satus sosial dan lingkungan hidup.
  5. Perbedaan pemahaman dan prinsip hidup dan beragama.
  6. Kurangnya pengalaman interaksi sosial.
  7. Kesulitan ekonomi.
  8. Cacat dan kekurangan pisik ataupun mental yang baru diketahui belakangan.
Di antara beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya konflik dalam rumah tangga tersebut, ada yang bersifat prinsipil sehingga tidak bisa ditolerir, seperti perbedaan prinsip hidup dan pemahaman agama. Dalam hal ini, harus ada penyatuan melalui dialog dan pembicaraan dari hati ke hati. Bila tidak mungkin, bisa menjadi kendala yang tidak akan terselesaikan kecuali dengan perceraian. Di antara faktor lain, ada yang sah dijadikan alasan untuk ‘menggugat pernikahan’, seperti cacat tersembunyi,  atau perbedaan tingkat intelejensi dan status sosial yang terlalu menyolok. Dalam istilah agama disebut perbedaan kufu. Namun bukan berarti tidak bisa diatasi sama sekali. Sementara faktor-faktor lain lebih menyerupai kendala umum yang hampir dialami oleh setiap rumah tangga.

Menghindari Badai

Segala persoalan dan kesulitan dalam rumah tangga, sekecil apapun, sering terlihat bagaikan badai laut, karena terasa mengusik kenikmatan yang sedang dicoba untuk diraih secara optimal. ‘Badai’ itu sudah pasti ada, besar atau kecil. Kita tidak dituntut untuk melawan goncangan badai, namun usahakan secerdik mungkin menghindarinya atau menghindari bahayanya bila memang ‘sang badai’ sudah sempat menerpa.
Badai  rumah tangga seringkali tampil dalam wujud percekcokan antara suami istri. Kalau dibilang sebagai bumbu, mungkin lebih layak disebut bumbu yang terlalu pedas. Karena percekcokan antara dua insan yang seharusnya bersatu, yang seharusnya tenggelam dalam suasana tentram, penuh dengan kasih saying, jelas berpengaruh amat besar terhadap kebahagiaan masing-masing pihak, bahkan berpengaruh pada penyelesaian tugas masing-masing dalam rumah tangga. Banyak nasihat para ulama yang dipaparkan dalam buku-buku panduan pernikahan untuk mengatasi terjadinya kasus percekcokan pasutri tersebut. Mungkin bisa kita tarik beberapa point terpenting di antaranya:
  1. Mempelajari hukum-hukum syariat dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah r. Kiat pertama ini untuk membentengi masing-masing pasutri dalam kesalahan mengambil sikap saat akan, sedang atau setelah terjadinya konflik.
  2. Meneliti kembali hak dan kewajiban masing-masing. Dengan kiat ini, diharapkan kesalahan akibat melalaikan hak dan kewajiban yang sering menimbulkan polemik bisa dihindari, setidaknya diminimalisir.
  3. Meminta nasihat orang tua dan alim ulama. Orang tua diperlukan dengan pengalamannya. Sementara para ulama dibutuhkan dengan ilmu, wawasan dan fatwanya. Menyelesaikan segala hal dengan segala keterbatasan diri sendiri adalah sikap nekat yang sering berakibat fatal.
  4. Mengoptimalkan kesabaran, bila perlu melatih diri untuk menjadi lebih penyabar dan tabah menghadapi segala masalah. Di dalam hidup berumah tangga, kesabaran lebih dibutuhkan daripada sekedar berinteraksi dengan teman dekat misalnya. Istri, bagi seorang suami, sudah menjadi belahan jiwa. Sehingga menghadapi seorang istri yang sulit memahami ungkapan dan penjelasannya saja seorang suami sudah bisa dibikin susah. Oleh sebab itu, tidak jarang seorang suami tampil demikian percaya diri dan amat meyakinkan di hadapan publik, namun menjadi amat bodoh dan tidak punya nyali di hadapan istrinya. Demikian juga seorang istri. Seringkali seorang istri mampu menahan berbagai terpaan fitnah hebat dari luar rumah, namun menjadi pusing tujuh keliling, hanya menghadapi seorang suami yang menimbulkan masalah-masalah sederhana. Di situ kesabaran diuji.
  5. Memaklumi sebagian kekurangan. Ibarat pepatah Arab yang artinya: “Siapa yang mencari kawan tanpa kekurangan, pasti akan hidup tanpa kawan.” Nabi r juga telah memperingatkan kita agar memaklumi sebagian dari kekurangan pasangan kita. Karena bila kita kecewa terhadap salah satu sifat buruknya, pasti kita akan dibuat terperangah dan senang oleh sifatnya yang lain.
  6. Bertaubat. Hanya taubat yang tulus yang dapat membuka pintu hati masing-masing pasangan suami istri untuk mengetahui kekurangannya, untuk mau memperbaiki diri dan menjalankan segala kewajibannya di hadapan Allah dan terhadap pasangannya. Allah berfirman dalam surat At-Tahriem ayat 10, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kalian dengan taubat yang tulus. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kalian..”
Taubat yang tulus membuka pintu ampunan Allah l.  Seringkali salah satu pasangan suami istri menukas cerdik,
“Kalau Allah l saja mau memberikan ampunan,  kenapa kita tidak?”
Mungkin bisa dijawab dengan canda ringan,
“Ya bisa saja, tapi ada syaratnya. Taubat kan juga ada syaratnya.”
Mungkin pasangan lain bisa menimpali: “Okey. Syaratnya  boleh apa aja.”
  1. Jangan mendramatisir persoalan. Bila masing-masing pihak sudah berbaikan, coba tekan permasalan hingga ke bawah telapak kaki. Jangan mendramatisir suasana, misalnya dengan nyeletuk: “Aduh, gara-gara kamu tadi, aku jadi gak bisa kerja. Kepalaku pusing!”  Atau dengan nada kesal melontarkan kata-kata: “Baik, aku maafkan. Tapi rasanya ku tidak akan melupakan kejadian ini seumur hidupku!”
Semua sikap seperti itu sering berakibat buruk. Sering menunda-nunda terjadinya perbaikan antara kedua belah pihak. Untuk itu, faktor kesabaran yang ditambah dengan formula ‘mudah mengalah’,  amatlah dibutuhkan.
Pada akhirnya, kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan yang muncul melalui penempaan, gemblengan dan cobaan. Justru di situlah letak dari ‘seni hidup’ di dunia ini. Sementara bagi seorang mukmin, kebahagiaan di dunia hanya merupakan garis kodrat yang harus dilaluinya melalui berbagai upaya memaksimalkan penghambaan dirinya terhadap Allah, sehingga akan melahirkan kebahagiaan ‘super sejati’ di akhirat nanti, yang tidak lain, bagi seorang mukmin, adalah pintu keluar dari penjara dunia…..

Energi Cinta

Energi Cinta
Cinta memiliki energi? Ya. Karena cinta itu diciptakan oleh Allah, untuk makhluk yang hidup dan berkembang. Maka cintapun selalu hidup dalam dada manusia. Cinta itu tumbuh dan berkembang, bereksplorasi, membangun diri. Dan semua itu tak mungkin, bila cinta tak memiliki energi.
Lalu, apa makna energi cinta?
Bagaimana pula agar energi itu berarus positif?
Bagaimana energi itu bisa terus berkembang, dan menjadi ruh kehidupan yang sesungguhnya?
Cinta yang Multidimensional
Dilihat dari asal katanya, cinta sudah berbicara dengan sendirinya. Kata Ibnul Qayyim, cinta –yang dalam bahasa Arabnya hubb–, bisa berasal dari kata habaabul asnaan, putih gigi. Cinta, artinya putih dan jernih. Maka selayaknya, cinta itu bersih dan suci.
Cinta bisa berasal dari akar kata habaabul maa, permukaan air. Cinta berarti tinggi dan selalu di atas. Maka, cinta harus selalu luhur, dan mengatasi segalanya.
Cinta bisa berasal dari asal kata habbah, yang artinya biji atau intisari. Maka, cinta harus menjadi poros dari segala pergerakan manusia. Dari cinta itulah, segala ucapan dan perbuatan lahir dan terlihat wujudnya di alam nyata.
Cinta bisa berasal dari kata hibbah yang artinya teguh dan konsisten. Cinta harus memiliki kemampuan menjadi konsisten dalam diri pemiliknya.
Cinta bisa berasal dari hibbatul maa-i, tempat menyimpan air. Cinta harus bisa melindungi dan menjaga pemiliknya dari bahaya yang berlawanan dengan tujuan cinta tersebut.
Begitu cinta melekat dalam diri seseorang, maka orang tersebut akan dibawa menuju banyak hal, banyak tujuan, banyak keragaman hidup yang serba memikat. Terutama, bila cinta itu lebih mendekati kemurnian, ketimbang naluri nafsu yang membuatnya ternoda.
Bila manusia memiliki cinta dengan segala kesejatian, bersiap-siaplah menjadi pribadi yang sarat dengan keajaiban.
Cinta Berenergi Positif
Ibnul Qayyim mengungkapkan,
“Apabila jiwa itu merasa masygul (sibuk) karena memikirkan orang yang dicintai atau karena sesuatu yang tidak disukai atau dikhawatirkan, maka seseorang akan kehilangan selera untuk makan dan minum.
Bahkan ia tidak merasa lapar dan haus, juga tidak merasa kedinginan atau kepanasan.
Dan bahkan tidak sempat lagi merasakan rasa sakit yang bagaimanapun dahsyatnya.
Ia tidak merasakannya lagi sama sekali. Setiap orang pasti yang dilanda cinta pernah merasakan hal semacam itu[1].”
Itulah energi cinta, yang melahirkan kekuatan, semangat dan penyulut gerak dalam dimensi yang tak lagi dapat dinalar dengan logika.
Seperti kisah-kasih sepasang manusia yang saling merindukan, di mana masing-masing bisa membangun kekuatan luar biasa, demi menggapai kebahagiaan berjumpa dengan yang dikasihi. Demi mendapatkan cintanya. Ada demi kebahagiaan pasangannya, meski dirinya sendiri hidup menderita.
Tapi, benarkan energi seperti itu secara mutlak dapat memberi kekuatan sejadi?
Tidak. Tidak selamanya demikian.
Cinta yang didasari kecintaan terhadap sesuatu yang fana, akan menciptakan kekuatan dan semangat yang juga fana.
Cinta yang didasari oleh nafsu, atau dilakukan dengan melanggar kebenaran Ilahi, akan melahirkan kekuatan yang bermuatan destruktif, merusak. Ia akan menjadi ibarat candu, yang terlihat bagus, bermanfaat dan memberi segala kekuatan. Tapi sesungguhnya justru membuat manusia semakin lemah dan lemah. Itulah sebabnya, Allah membebaskan Nabi Yusuf, dari pengaruh cinta yang negatif seperti itu,
Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba -hamba kami yang ikhlas…” (Yusuf : 24)
Bila cinta itu adalah cinta yang mubah, meski hanya sesama manusia, seperti cinta suami terhadap isterinya, atau sebaliknya, pasti akan memberi pengaruh yang positif dan hakiki.
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya…” (Al-A’raaf : 189)
َوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ: أَنْ تُحِبَّ فِيْ اللهِ، وَتُبْغِضَ فِيْ اللهِ
“Pokok-pokok iman yang paling kuat adalah Anda mencintai siapapun karena Allah dan membenci siapapun karena Allah.”[2]
Mencharger Energi Cinta
Seperti halnya segala sumber energi di dunia ini, tak ada yang bersifat abadi. Kalaupun ada yang bertahan lama, harus selalu disuply kekuatan baru melalui kekhasan di dimensinya masing-masing
Bila baterai HP Anda perlu dicharge secara berkala, maka demikian pula energi cinta. Ia perlu  dicharge sesuai dengan jenisnya. Cinta yang murni, yang didasari iman, harus dicharge dengan penyuplai energi iman, yaitu dzikir dan ibadah.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rejeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Al-Anfaal : 3)
Teman-teman sekalian. Betapa seringnya sebagian kita mengalami krisis energi cinta terhadap kebaikan.
Banyak di antara kita yang sering kehilangan selera beribadah. Malah shalat berjama’ah. Malas membaca Al-Quran. Malas mengaji. Malas berdzikir. Malas membantu teman yang membutuhkan. Bahkan malas membantu orang tua. Malas menjalani hidup, dan malas menatap masa depan.
Saat itu, kecintaan kita terhadap kebaikan, harus lebih banyak dicharge. Lalu, waspadai penggunaan cinta secara berlebihan, saat semangat sedang menggebu-gebu. Karena cinta itu bisa kehilangan sebagian besar dari energinya, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan futuur. Yaitu mengendornya semangat melakukan kebaikan. Salah satu penyebab futuur yang utama adalah: memaksakan diri melakukan kebaikan atau ibadah, atau berlebihan dalam melakukannya.
Lakukanlah segala kebaikan secara nornal, konsisten, meski tak banyak jumlahnya. Charge terus energi cinta Anda terhadap segala kebaikan yang disukai dan diridhai oleh Allah. Maka, Anda akan menjadi manusia dengan kekuatan cinta yang penuh keajaiban.
Anda mungkin menganggap diri Anda kecil. Tapi dunia akan memandang Anda dengan terperangah. Seribu satu kebaikan dunia dan akhiratpun menanti Anda.

[1] Lihat Zaadul Ma’aad oleh Ibnul Qayyim hal. 92.
[2] HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir, No. 11537; Ibnu Syaibah dalam Al-Iman, hlm. 110, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, No. 1728

Lima Langkah Penyempurna, Agar Rumah Tangga Bahagia

Tentu, rumah tangga bahagia yang bergelar baiti jannati, rumahku adalah surgaku,  memiliki harga mati yang wajib kita beli:  yakni seharga iman dan kepatuhan kita kepada Allah.
Segala kaidah, petuah, rumus dan kiat-kiat yang berhulu dari olah logika manusia, tak akan bisa menghantarkan pasutri kepada kebahagiaan hakiki. Tanpa kepatuhan kepada Allah, tanpa ketaatan pada syariat yang MahaPencipta, manusia hanya akan menjadi perusak bagi dirinya sendiri, dan bagi siapapun yang ada di sekitarnya, termasuk keluarga, anak, isteri atau suami.
Bisa jadi, kerusakan itu tak terlihat. Bisa jadi orang banyak menganggap mereka sebagai sosok keluarga bahagia. Bisa jadi, seolah-olah mereka adalah keluarga yang layak diteladani dalam segala hal. Selama mereka jauh dari agama Allah, selama itu pula mereka menjadi contoh manusia yang membahayakan diri dan orang lain.
Berikut, beberapa langkah untuk menyempurnakan keluarga bahagia:
Pertama: Mendahulukan Keridhaan Allah, dan Keridhaan Pasangan
Banyak orang beranggapan, bahwa bila ingin rumah tangga senantiasa rukun, tentram dan bahagia, ia harus berusaha memperturutkan keinginginan pasangannya, meski itu harus berlawanan dengan kehendak mereka sendiri, atau bahkan melanggar syariat Allah. Karena bayangan kemarahan pasangan senantiasa tergambar di matanya sebagai hal yang paling menakutkan. Karena itu, mereka berusaha mencari perhatian dan mengambil ‘hati’ pasangan mereka, meski dengan mengorbankan kepatuhannya kepada Allah.
Padahal, Nabi n bersabda,
مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ  سَخِطَ اللهِ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ
Siapa saja yang mencari keridhaan Allah dengan hal-hal yang dimurkai oleh umat manusia, pasti Allahpun akan meridhainya, dan umat manusia juga akan menyukainya.  Siapa saja yang mencari keridhaan umat manusia dengan hal-hal yang dimurkai oleh Allah, pasti Allahpun akan murka terhadapnya, sementara umat manusia justru akan membencinya[1].”
Saat mencari keridhaan orang lain dengan konsekuensi kemurkaan Allah, maka seseorang akan menjadi budak sesamanya. Kekuatan Allah tidak pernah mengisi hatinya, sementara kemurkaan orang lain akan menjadi Neraka buat dirinya.
Maka, lihatlah suami yang begitu takut pada kemarahan isteri, atau isteri yang begitu khawatir terhadap kemarahan suami, lalu mereka melakukan apa saja demi menghindari kemarahan tersebut. Mereka akan kehilangan kesempatan memperoleh banyak kebajikan. Seorang suami harus bertarung menghadapi kemarahan banyak orang, termasuk atasannya dalam pekerjaan, atau para tetangganya. Ia akan kelihatan begitu menyebalkan di hadapan banyak orang, dan hanya mungkin menjadi hero di hadapan  isterinya saja. Dan itupun tidak akan bertahan lama. Karena memuaskan isteri dengan segala cara, justru membuat isteri semakin lapar tuntutan. Layaknya bayi yang tak pernah disapih. Alih-alih mendapatkan pujian sang isteri, ia justru akan menjadi manusia paling sengsara di dalam rumahnya sendiri.
Seorang istri yang berlaku serupa karena takut pada kemarahan suami, akan kehilangan kesempatan menjadi wanita yang baik di mata siapapun, bahkan akhirnya juga di mata suaminya sendiri. Ia akan kepayahan bergaul dengan sesama wanita. Karena segalanya selalu dibatasi kemauan suami. Ia akan sulit mengaji, memperbaiki diri, bila kebetulan sang suami kurang menghendakinya. Bahkan di lingkungan orang-orang taat sekalipun, isteri yang berorientasi hanya pada kenyamanan hati suami tanpa mengindahkan syariat Allah, pasti akan terjebak pada dilema penyembahan sesama manusia. Saat itu, segala sendi kebahagiaan rumah tangga akan runtuh dengan sendirinya.
Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan,
Manusia paling berbahagia adalah yang memperbaiki hubungannya dengan Allah. Karena, dengan cara itu, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia. Orang yang mencari keridhaan manusia dengan hal-hal yang membuat Allah  murka, pasti pujian manusia terhadapnya, berubah menjadi cacian belaka[2].”
Agar beroleh kebahagiaan seutuhnya, manusia tidak boleh menggantungkan kebahagiaannya pada kehendak sesama manusia. Bagaimana mungkin seseorang bergantung pada kehendak suami atau isterinya, lalu dengan itu mereka ingin bahagia, sementara suami atau isteri mereka sendiripun tak bisa menjaminkan kebahagiaan bagi diri mereka sendiri?
Membiarkan diri kita memperturutkan kemauan orang lain dengan mengorbankan kehendak Yang MahaKuasa, berarti membiarkan diri kita dijajah sesama manusia. Orang yang dijajah, bagaimana mungkin beroleh bahagia?
óOßgtRöqt±øƒrBr& 4 ª!$$sù ‘,ymr& br& çnöqt±øƒrB bÎ) OçFZä. šúüÏZÏB÷s•B ÇÊÌÈ
Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman…?” (At-Taubah : 13)
Kedua: Membangun Cita-cita Akhirat
Tentu kita semua tahu, bahwa cita-cita tertinggi dalam diri kita sebagai mukmin adalah masuk Surga, dan beroleh keridhaan Allah Yang MahaPengasih.
Tapi, dalam perjalanan kehidupan rumah tangga, suami maupun isteri kerap terjebak pada target-target jangka pendek yang terlalu menyibukkan pikiran, sehingga konsistensi pada nilai-nilai akhirat menjadi terabaikan.
Hari ini, saya harus beli ini. Tanggal sekian, saya harus sudah bisa membeli ini, memiliki itu. Tahun ke sekian pernikahan, kami harus sudah mempu begini dan begitu.
Keinginan adalah manusiawi. Tapi kerap kali keinginan suami maupun isteri, membayangi-bayangi pikiran mereka sepanjang waktu. Sehingga tak ada hari tanpa memikirkan target dan pencapaian yang harus diraih. Sebuah kegagalan, akan menyisakan tumpukan kegundahan dalam hati. Bagaimana bila kegagalan demi kegagalan terus berdatangan? Bersiaplah menjadi manusia paling melarat di dunia.
Orang yang cita-citanya tertuju pada dunia saja, urusannya akan Allah cerai beraikan,  kemiskinan senantiasa terbayang di pelupuk matanya, sementara dunia yang mendatanginya hanya sebatas yang telah Allah tetapkan baginya saja. Dan Siapa saja yang cita-citanya tertuju pada akhirat, pasti Allah beri keteguhan pada kesatuan jiwanya, kekayaan selalu melekat dalam hatinya, sementara dunia justru mendatanginya secara pasrah.[3]
Pondasi ini harus kerap dikampanyekan dalam keluarga. Suami maupun isteri harus saling ingat-mengingati soal cita-cita akhirat ini. Setiap tingkah, prilaku, amalan, hingga ucapan sehari-hari yang mulai mengarah untuk menjebak diri mereka ke dalam kegilaan terhadap dunia, harus segera dimandulkan kembali. Apakah dengan itu mereka akan menjadi pribadi yang pemalas? Tidak, sama sekali tidak.
Itu bisa terlihat, ketika suami terlalu sibuk bekerja, sehingga lupa mengajak isteri mengaji, lupa dengan masjid, mulai semakin jarang membaca Al-Quran…..Sang isteri wajib menegur, dan mengingatkan suami, “Mas, mari kita kembali kepada Allah….”
Saat mulut isteri sibuk berkicau soal keinginan-keinginan duniawi, sehingga menjadi sepi dari dzikir,  sang suami harus berkata santun, “Sayang, banyaklah bertasbih, bertakbir, bertahlil, agar iiwa kita senantiasa ingin mengejar akhirat…”
Saat kegilaan terhadap dunia menghinggapi hati salah satu pasutri, apalagi kedua-duanya, maka arah kehidupan rumah tangga akan berbolak-balik. Mereka tak akan pernah merasa nyaman dalam satu kondisi. Pikiran mereka selalu berusaha melahap kenyamanan-kenyamanan baru, sehingga nyaris tak pernah menyukuri segala yang Allah karuniakan kepada mereka.
Itulah sebabntya, banyak konflik rumah tangga terjadi, karena hasrat-hasrat duniawi yang tidak terpenuhi. Ada yang isteri yang ribut secara heboh, hanya karena uang jatah uang bulannya berkurang. Padahal sesungguhnya, yang ia terima masih sangat berlimpah dibandingkan kebanyakan orang.
Itulah sebabnya, banyak suami yang bekerja kesetanan mencari tambahan rezki, karena baik dirinya maupun isterinya, sama-sama menganggap bahwa pencapaian tertentu dalam soal kemapanan adalah keharusan. Kegagalan adalah musibah yang tak bisa dimaafkan.
Dengan demikian, berarti kebahagiaan seseorang amatlah bergantung pada pencapaian hasrat-hasrat duniawinya. Padahal hasrat manusia selalu berkembang. Hari ini, batas sekian sangatlah mencukupi. Bila itu sudah tercapai, ia akan mengejar yang lebih banyak lagi. Hasratnya akan makin berkembang dari hari ke hari. Maka, dari mana kebahagiaan itu akan muncul? Bagaimana pasutri bisa mengenyam kebahagiaan itu, bila syarat pencapaiannya senantiasa berubah-ubah?
Saudara seiman. Bila sebuah rumah tangga tidak dibangun dengan terus mengasah kecintaan terhadap akhirat, dengan saling nasihat menasihati dalam meningkatkan ibadah, maka hasrat-hasrat duniawi akan membelit jiwa pasutri. Bila itu terjadi, kebahagiaan hidup akan menjadi angan-angan belaka.
Ketiga: Meningkatkan Kwalitas Karakter dan Kebiasaan
Ada sebuah hal sederhana yang kerap diabaikan oleh pasutri, padahal itu amatlah berpengaruh pada proses pembahagiaan hidup dan penyejahteraan jiwa. Hal itu tersebut adalah perbaikan karakter dan kebiasaan.
Manusia yang tidak berdinamika untuk semakin baik dari hari kehari, pasti akan terjebak dalam kepenatan hidup. Karena ujian dan cobaan hidup makin beragam, sementara potensi diri tidak berkembang.
Begitu juga dalam kehidupan pasutri.  Di antara sekian banyak problematika rumah tangga, sisi yang terberat adalah membina keserasian dan harmonisasi pasutri dalam kehidupan sehari-hari.
Yang paling kerap mengganjal tujuan membina keserasian adalah adanya perbedaan karakter antara suami dan isteri, yang menyebabkan mereka kesulitan untuk berinteraksi secara nyaman. Perbedaan karakter dan kebiasaan itu kadang-kadang kontradiktif, seperti perbedaan antara manis dan pahit, dingin dan panas, sehingga kerap terjadi ketegangan-ketegangan saat kepentingan karakternya terusik oleh kepentingan karakter pasangannya.
Saat makan, saat menikmati udara, saat mengamati kasus-kasus tertentu, saat menghibur diri, tentu sangat membahagiakan pasutri. Tapi semua itu lenyap seketika, ketika masing-masing memiliki karakter berseberangan saat menikmati semuanya. Kebersamaan yang indah itu akhirnya justru memberi hasil sebaliknya: keributan.
Maka, setiap pasutri wajib membina karakter dan kebiasaannya agar semakin permisif, semakin akomodatif terhadap perbedaan karakter pasangannnya. Dan itu akan semakin mudah, bahkan semakin memberikan kenikmatan lebih, bila mereka tulus menjalannya.
Ada isyarat dalam hadits, yang tidak dipahami oleh banyak orang.
Janganlah seorang suami beriman membenci istrinya yang beriman. Karena kalau ia tidak menyukai salah satu tabiatnya, pasti ada tabiat lain yang membuatnya merasa senang[4].”
Hadits ini sering digunakan untuk makna bahwa seseorang harus berusaha sabar menghadapi karakter dan kebiasaan pasangan yang tidak dia sukai. Padahal sesungguhnya, hadits juga memberi isyarat tegas bahwa setiap pasangan harus berusaha mengoptimalkan sisi karakter yang disukai oleh pasangan, agar dapat meminimalisir pengaruh karakter dan kebiasaan buruknya terhadap pasangannya tersebut.
Artinya, jangan sampai karakter yang tidak disukai pasangan justru semakin dominan dari hari ke hari. Justru sebaliknya, karakter yang kurang disukai itu hendaknya semakin hari semakin dikikis, sementara karakter yang disengani oleh pasangan, semakin hari semakin diasah. Bila keduanya melakukan hal itu, niscaya kehidupan rumah tangga akan semakin mengembunkan keceriaan, kebahagiaan dan ketentraman, pada kulit kehidupan keseharian.
Persoalannya, banyak pasutri yang enggan mengubah karakter dan kebiasaan diri. Di sisi lain, mereka juga kurang berminat untuk mengoptimalkan karakter dan kebiasaan diri yang berpotensi membahagiakan pasangan. Kenapa? Karena banyak orang ingin menjalani hidup ini secara mengalir begitu saja.
Padahal, tidak ada puncak kebahagiaan yang bisa dicapai tanpa tetesan keringat. Itu artinya, kebahagiaan harus dicari dan diusahakan. Kalau Allah telah menciptakan segala potensi itu pada diri kita, kenapa kita tidak mengusahakannya?
Amatlah mudah untuk memahami apa yang disukai pasangan dari diri kita, dan apa yang tidak disukai oleh pasangan dari diri kita. Hanya persoalannya, maukah kita berusaha agar pasangan kita semakin hari semakin banyak mendapatkan hal-hal yang paling disukainya dari diri kita?
Keempat: Menghargai Pasangan
Apapun yang diusahakan oleh manusia, selalu saja menyisakan kekurangan dan kealpaan. Alangkah baiknya, bila kitapun belajar menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain, terlebih lagi, bila orang lain itu adalah pasangan kita. Suami, atau isteri kita.
Langkah keempat ini adalah langkah antisipasi atas segala kekurangan yang terjadi, saat segala upaya telah dilakukan. Sekadar menyadarkan kita, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Maka kebahagiaan diri kita hanya bisa dicapai, bila kita mampu memahami segala kekurangan siapapun yang dengannya kita berinteraksi. Terutama sekali pasangan kita sehari-hari.
Memahami kekurangan, berarti juga menghargai kelebihan. Semakin seorang suami atau isteri memahami kekurangan pasangannya, semakin pula ia mampu menghargai kelebihan dan keistimewaan yang dimiliki pasangannya.
“Wajar, kalau dia kurang pandai memasak, karena sejak kecil tidak terbiasa melakukannya. Tapi bersih-bersih, dia tetap jagonya…”
“Mungkin suamiku agak sedikit pemarah, karena dia memang anak satu-satunya dalam keluarga. Tapi soal keromantisan, makin hari makin luar biasa…”
Salah satu tips menghargai  pasangan adalah membangun kebiasaan untuk mempelajari kelebihannya. Artinya, suami maupun isteri, sebaiknya melihat apa yang menjadi kelebihan pasangannya, lalu belajar untuk bisa seperti dia. Kenapa demikian? Karena seseorang akan bisa menghargai pekerjaan atau sesuatu, bila ia sudah mengenalinya. Bila sudah sibuk memasak di dapur, atau membersihkan kamar mandi, seorang suami akan mengerti betapa pekerjaan-pekerjaan isterinya itu sesungguhnya sangatlah luar biasa.
Begitu pula, bila isteri menyempatkan diri membantu mengerjakan sebagian pekerjaan suami. Begitu pula, bila suami maupun isteri menyempatkan diri untuk melakukan hal-hal yang menjadi kelebihan pasangan, meski itu sebenarnya sudah lazim dikerjakan oleh isteri atau suami sepertinya.
Selain meniru kebiasaan baik pasangan, sebaiknya suami ataupun isteri juga mengajarkan kelebihannya kepada pasangannya. Suasana take and give itu akan indah, ketika masing-masing saling menyadari bahwa yang ia miliki juga sudah seharusnya dimiliki oleh pasangannya. Meski dalam kenyataan itu tidaklah mudah, dan kalaupun berhasil tidak akan sepenuhnya, namun dengan kebiasaan itu masing-masing akan semakin mampu menghargai pasangan. Tanpa belajar memahami pasangan, pasutri akan terus dibuat kepayahan oleh pasangannya sendiri sepanjang hidupnya.
(#qçRur$yès?ur ’n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3“uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? ’n?tã ÉOøOM}$# Èbºurô‰ãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya…” (Al-Maidah : 2)
Yang Kelima: Bertawakal Kepada Allah
Manusia tidak mungkin menjemput kebahagiaan, dengan hanya mengandalkan kemampuannya sendiri. Manusia, tetaplah manusia dengan segala keterbatasannya. Tentu ada kekuatan tak terbatas yang mampu membolak-balikkan hati. Yang mengubah yang tidak ada menjadi ada, yang ada menjadi tidak ada. Kekuatan itu adalah kekuasaan Allah, YangMahaPerkasa.
Di sisi lain, manusia tak pernah bisa melepaskan diri dari kekurangan yang menjadi karakter dasarnya,
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir..” (Al-Ma’aarij : 19-21)
Hanya orang yang taat dan senantiasa beribadah kepada Allah, yang mampi meminimalisir pengaruh dari karakter dasar manusia itu. Selebihnya, dari awal hingga akhir, ia harus senantiasa menyandarkan urusannya kepada Allah.
Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh…” (Al-A’raaf : 196)
Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Ali Imran : 173-174)
Pasutri harus membiasakan diri untuk bertawakal kepada Allah. Beban hidup, persoalan, keragaman peristiwa, hal-hal yang tak terduga, semua sering dapat mengejutkan dan menindih jiwa kita dengan beban yang berat.
Seringkali sesuatu itu menjadi tak seindah yang dibayangkan. Seringkali hal-hal terjadi tak sewajar yang kita pikirkan. Maka, hanya dengan bertawakal segala persoalan itu mengendap menjadi ampas-ampas beban yang tak lagi menyiksa.
Simak, sabda Nabi n,
لَوْ كَانَ لِيْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا لَسُرُّنِيْ أَنْ لاَ تَمُرُّ عَلَيَّ ثَلاَثَ لَيَالٍ وَ عِنْدِيْ مِنْهُ شَيْءٌ، إِلاَّ شَيْءٌ أَرْصَدَهُ لِدَيْنٍ
“Seandainya aku memiliki emas sebanyak gunung Uhud, maka aku sangat bergembira kalau tidak sampai berlalu tiga hari lamanya hingga tidak ada sedikit pun yang tersisa dari emas itu, kecuali sesuatu yang aku siapkan untuk membayar utang.”[5]
Kita boleh saja berusaha, tapi segalanya sudah tersurat. Keyakinan ini seharusnya memberi kekuatan lebih pada jiwa pasutri, sehingga senantiasa menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa. Dan bahwa asalkan mereka bertakwa, tidak ada hal yang dapat mencelakakan mereka.
“Ketahuilah, seandainya seluruh manusia berkumpul untuk mendatangkan manfaat padamu maka, mereka takkan dapat memberikan manfaat itu kecuali manfaat sebatas yang telah Allah tetapkan padamu. Ketahuilah, seandainya mereka semua bersatu untuk mencelakakan dirimu, maka mereka tak dapat mendatangkan mudharat kecuali sebatas mudharat yang telah Allah tetapkan atas dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering.”[6]
Pasutri harus saling ingat mengingatkan, agar bertawakal kepada Allah, menyerahkan segala hal, urusan dan akhir perjalanan hidup ini kepada Allah semata. Kita hanya wajib berusaha, dan Allah yang akan menentukan segalanya.
Membiasakan diri, untuk tersenyum dalam segala kepedihan.
Membiasakan diri, untuk menolong orang lain dalam segala kesusahan.
Membiasakan diri, untuk bersyukur atas segala kesulitan.
Membiasakan diri, untuk mengerjakan sesuatu tanpa terbebani oleh apa yang akan terjadi sesudahnya.
Seorang isteri harus membiasakan diri melepas suami bekerja dengan senyum indah, dan menyambutnya kembali sepulang kerja dengan senyum yang tetap mengembang sentosa.
Seorang suami harus membiasakan diri memahami relung-relung terdalam dari perasaan seorang isteri. Mempelajari body language yang menjadi ciri khas wanita, sehingga lebih mampu memberi sentuhan-sentuhan bahagia kepadanya.
Suami dan isteri haruslah membiasakan diri, untuk menyadari bahwa segala yang terjadi bukanlah hak manusia untuk mengadilinya…..

[1] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi IV : 609. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban I : 510. Diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id IV : 71. Juga oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannif VI : 198. Lalu oleh Ath-Thabrani X : 215.
[2] Lihat Jami’ul Uluum wal Hikam I : 163.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 949.
[4] Diriwayatkan oleh Imam Muslim II : 1091 dan Ahmad II : 329.
[5] Shahih Al-Al-Bukhari, No. 6443
[6] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, No. 244. Beliau berkomentar,  “Hadits ini hasan Shahih”.

Korban Cinta

 

Cinta hadir dalam kehidupan, ketika manusia belum memintanya. Cinta memberi warna dalam kehidupan, ketika manusia belum lagi memahami makna hidup itu sendiri. Cinta memberi bekas dalam hidup, kadang tanpa manusia mengharapkannya. Manusia bisa menjadi digdaya, atau justru gila karena cinta, tanpa ia sadar telah memilih yang mana. Maka, bukankah hanya kepada Pencipta cinta, kita bisa memasrahkan jiwa?
‘Kenakalan’ Cinta
Cinta itu nakal. Ia membuat seorang bayi menangis menjerit-jerit, hanya mengejar cairan susu dari payudara ibunya.
Cinta itu nakal. Lihatkan, betapa banyak gadis kecil atau anak lelaki ingusan harus berlagak di hadapan lawan jenisnya, mengganti pakaian, memakai parfum, mengubah gaya berjalan, dan malu-malu dengan wajah bersemu merah, saat tiba-tiba bertemu dengan ‘dia’ yang ia cintai, di tengah jalan.
Anak-anak sekecil itu, sudah harus menjadi korban cinta.
Cinta itu sungguh nakal. Tak sedikit pria kaya memiskinkan diri demi mengejar cinta kekasihnya. Tak sedikit wanita menjadi nyaris tak bermalu, mengobral diri secara memilukan, demi berharap cinta pria yang dikasihinya.
Cinta itu pun terlihat nakal, ketika banyak bapak yang berkorban tak makan siang, demi jatah makan anak dan isterinya.
Cinta itu nakal, karena begitu banyak isteri berubah wujud saat sudah menjadi isteri seorang pria. Siapapun pria itu. Teroris sekalipun.
Aih. Karena kenakalan cinta, maka seorang suami kerap ‘berbohong’, menutupi jati dirinya, karena ia khawatir sang isteri akan kecewa. Kekecewaan isteri adalah rasa sakit di dadanya. Maka jangan kaget, bila seorang isteri baru tahu belakangan kalau suaminya adalah koruptor. Bahwa suami yang begitu baik, santun, penuh kasih itu, ternyata dengan berdarah dingin bisa membunuh ratusan orang sambil tersenyum.
Duhai, nakalnya cinta.  Ia hadir, berbuat, berkreasi dalam jiwa, dan membuat letupan-letupan makna yang kerap mengejutkan, dan seringkali tak dikehendaki oleh manusia itu sendiri.
Terlalu banyak sudah, manusia yang menjadi korban kenakalan cinta. Buku novel-novel picisan, sering mengglomourkan kisah para korban cinta itu dalam aksi-aksi yang seolah-oleh heroik. Padahal, siapapun tahu kalau itu adalah kecelakaan yang menonjok jiwa.
Diadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternakdan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)…” (Ali Imraan : 14)
Cinta itu menghiasi jiwa. Tapi dengan nakalnya, ia kerap membuat sang jiwa merana. Meregang duka. Menanggung seribu derita.
‘Mengakali’ Cinta
Karena nakal, maka cinta harus diakali. Sang ibu, yang pertama mengakali cinta sang bayi. Puting susunya dibaluri balsem atau jejamuan yang pahit, sehingga si bayi kapok menyusuinya.
Nafsu dan cinta, juga ibarat bayi. Kecintaan kita kepada ragam makanan dan minuman, harus diakali dengan puasa Ramadhan dan sejenisnya. Sehingga tak lagi terlalu liar mengejar kenikmatan semaunya.
Nafsu syahwat juga harus diakali dengan menikah, dan bila belum mampu dengan puasa bujang (shaumul ‘uzzaab), agar sang nafsu melunak, dan tidak berlagak dan merusak.
Teori mengakali cinta itu diajarkan dalam agama kita. Islam ingin mengemas cinta menjadi anugerah. Karena itu, ia harus ditundukkan. Payahnya, ia tidak bisa tunduk dengan segala upaya kita. Bahkan kerap kali justru kita yang diakalinya. Dengan hanya kekuatan kita sebagai manusia, kita hanya senantiasa menjadi korban cinta. Ia akan mendikte kita, membuat kita begitu bodoh dan tak lagi mampu membedakan antara hitam dan putih. Cinta hanya bisa tunduk, bila kita membangun ketundukkan kepada Pencipta cinta itu sendiri. Allah, Yang Rahmaan dan Yang Rahiem.
Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’ien. Hanya kepada-Mu, ya Allah, kami beribadah. Dan hanya kepada-Mu, kami memohon pertolongan.
Ibnu Abbas menjelaskan, “Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan, untuk melaksanakan segala urusan kami, demi menaati-Mu.”[1]
Nabi n bersabda kepada Ibnu Abbas,
“Apabila engkau hendak meminta pertolongan, mintalah kepada Allah…”[2]
Syaikh Al-Alusi menjelaskan, “Kalimat iyyaka- nasta’iin menunjukkan bahwa ibadah itu hanya sempurna dengan pertolongan, taufiq dan izin Allah…”[3]
Dus, hanya dengan pertolongan Allah, kita bisa selamat dari jebakan cinta.
Agar Tak Binasa Karena Cinta
Agar tak menjadi korban cinta, amatilah beberapa hal berikut:
  1. Tetaplah sadar, bahwa cinta itu hanya berfungsi menghiasi jiwa, bukan menguasai jiwa. Maka, jadikan cinta sebagai alat membuat hidup lebih indah, jangan biarkan kita menjadi gila.
  2. Hiasi hati dengan cinta sejati, yaitu cinta manusia kepada Rabbnya. Karena cinta itu akan menjadi raja. Segala bentuk cinta lain akan tunduk kepadanya.
  3. Ubahlah paradigma cinta. Jangan menganggapnya sebagai sesuatu yang datang tiba-tiba. Tapi jadilah orang yang berusaha melahirkan cinta. Untuk itu, bereskan tauhid Anda. Karena hanya itu Anda mampu melahirkan cinta yang membuat Anda bahagia.
  4. Selalu lah memohon pertolongan kepada Allah. Jangan bersikap jumawa. Sadarlah, bahwa hanya dengan pertolongan Allah kita bisa selamat dari jerat-jerat cinta yang menggilakan.
  5. Maknai cinta dengan bulir-bulir iman yang mengendap pada rasa suka, dan menjadikan rasa itu sebagai pelecut mengejar kebahagiaan hakiki. Cintai siapapun, selama cinta itu bermakna. Selama cinta itu berguna untuk kehidupan abadi Anda………….
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ: أَنْ تُحِبَّ فِيْ اللهِ، وَتُبْغِضَ فِيْ اللهِ
Pokok-pokok iman yang paling kuat adalah Anda mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”[4]

[1] Tafsir Al-Quran Al-’Azhim tahqiq tim Hasan Abbas Quthub I:215. [2] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi IV : 667,  oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak III : 623, Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa-id VII : 189 dan  Ahmad dalam Musnad-nya I : 293.
[3] Ruhul Ma’ani I : 121.
[4] HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir, No. 11537; Ibnu Syaibah dalam Al-Iman, hlm. 110, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, No. 1728